Sabtu, 27 Maret 2010

Zakat System for the Poor in Indonesia


Background
Indonesia is the world largest muslim democratic country in the world, which has 88.2% or consist of 202.9 million muslim population in the country (The Pew Forum on Religion and Public Life, 2009). The growing awareness of religion in Indonesia has been dramatically happened in the late 1990’s or the end period of the New Order regime. Indication of this advance for example, more muslim women wearing hijab, more people going to mosques for prayer and also the raising up awareness among muslim to pay zakat as a religion obligation.
Zakat is very important for muslim as one of “five pilar of islam”, besides profession of faith, prayer five times a day, fasting during the month of Ramadhan, and pilgrimage to Mecca (Clarc, 2001, p.52). Alfitri (2006) argued that zakat system has long root from the beginning of Islam, from the Prophet Muhammad era, his successors and continued functioning in many muslim governments until the fall of Ottoman Empire.

Kamis, 25 Maret 2010

Nikmatnya Ikut Jumatan di ANU


Dalam kondisi minoritas, muslimin di Australia benar-benar melupakan segala perbedaan mazhab dan urusan “kecil” lainnya

Hidayatullah.com--Lantunan adzan Jumat kali ini pendek-pendek bernuansa Tiongkok, sedikit berat namun lembut penuh penjiwaan. Abdul, seorang keturunan Xinjiang yang melantunkannya, begitu menghayati peran barunya. Hari itu ia menggantikan tugas muazin yang kebetulan telah menyelesaikan pendidikannya dan pulang ke Indonesia.

Biasanya, mahasiswa undergraduate itu, sebagaimana mahasiswa lainnya secara sukarela ikut membantu menyiapkan tempat sholat, seperti membentangkan karpet dan tikar atau mempersiapkan kursi dan meja untuk khotib.

Selasa, 09 Maret 2010

Cleaner


Di suatu siang, saya sholat dhuhur di basement sebuah gedung perkantoran elit di bilangan Kuningan, Jakarta. Tak dinyana, sang imam sholat adalah seorang cleaner yang sering saya jumpai membersihkan ruangan-ruangan di gedung tersebut. Dengan tampilan pakaian seragam yang bersahaja namun penuh fungsi, sang cleaner dengan tanda hitam bekas sujud di dahinya memimpin ritual sembahyang para pekerja dari berbagai negara yang mungkin beberapa diantaranya adalah bos di perusahaan-perusahaan multinasional yang berkantor di gedung berlantai tiga puluh dua tersebut.
Alangkah indahnya agama ini yang memberikan persamaan derajat di hadapan Sang Pencipta. Bahwa dihadapan Sang Khaliq, tak ada pembedaan tingkatan profesi atau penderajatan lainnya yang diciptakan manusia. Namun, saya menangkap kesan yang tak bisa ditutupi bahwa seorang cleaner yang berkutat membersihkan barang-barang kotor tersebut, ternyata mempunyai religiusitas lebih tinggi dibanding para pekerja berdasi, meski hal tersebut bisa jadi sebuah generalisasi yang ceroboh. Yang jelas, dalam sholat seorang yang datang lebih dulu akan mendapatkan shaf di depan, sementara saat itu banyak para karyawan berdasi yang hadir dan mengisi barisan-barisan belakang.

Senin, 08 Maret 2010

Critiques on Sachs’ article: “The Development challenge”*


“There is an ideological consideration behind this (policy)”, Sachs (2009) criticizes his opponent in one interview with the CBC TV station. As an economist-celebrity, running with Bono and Angelina Jolie, Sachs has been campaigning alleviation of extreme poverty movement for many years. Not only trough his position as Ban Ki-Moon’s (United Nations-Secretary General) special advisor, his great achievement on academic career gives him authority to speak out about poverty alleviation and also health aid policy. His thought on MDG’s targets which ambitiously trying to decrease a half of poverty in 2015, giving hope among people in poorest countries in Sub-Saharan Africa, Asia and the rest of the world. This paper will argue that Sachs’s stance has strong argument and practical basic, but lack of detail in many areas.
Sachs’ position on economic thinking is very special, since he has an United States citizenship, has many experiences as problem solver in many countries from Bolivia, Poland, Russia, China to India and especially as a retired IMF’s economist (from 2002 to 2006). Although, Sachs is living and growing in a capitalist country and ever works on many prestigious international financial institutions, his opponents named him likely a social activist, because in many occasions Sachs critiques The US administration because their lack of attention to the poor countries.