Jumat, 18 Juni 2010

Gayuskah ide Negara Kesejahteraan?


Kunjungan kenegaraan SBY ke Australia beberapa bulan yang lalu efektif menghentikan beberapa hari “percekcokan abadi” di Parlemen Australia. Perdana menteri Kevin Rudd dan pemimpin oposisi Tony Abbot “terpaksa” jeda dari saling serang berbulan-bulan lamanya, terkait rancangan kebijakan layanan kesehatan dan kegagalan program pemasangan insulasi rumah demi menghormati kunjungan sang pemimpin negeri tetangga di utara.
Belum lama berselang pula, Barack Hussein Obama dua kali menunda rencana kunjungan kenegaraannya ke Tanah Air, karena harus memastikan rancangan undang-undang tentang reformasi jaminan kesehatan untuk 32 juta rakyat miskin seperti yang dijanjikannya berhasil digolkan. Kehadiran presiden pertama keturunan Afro-Amerika di parlemen disertai testimoni beberapa “korban” buruknya sistem layanan kesehatan yang sekarang, efektif memberi semangat tempur “kaum Demokrat” yang akhirnya memenangkan voting.
Negara kesejahteraan
Di kedua negara maju diatas, perdebatan mengenai tema-tema negara kesejahteraan menjadi menu utama urusan pemerintahan. Sebenarnya pemikiran tentang negara kesejahteraan bersemayam pula di benak para founding fathers kita. Jejaknya masih jelas bisa kita baca di dalam konstitusi di pasal 34 yang berbunyi, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Empat kali amandemen UUD 1945 tidak menghapus cita-cita “keramat” bangsa yang dahulu berhasil mengobarkan semangat perlawanan bersenjata rakyat yang terjajah.

Dari kajian akademis, banyak negara memasuki konsep negara kesejahteraan setelah melampaui pergolakan panjang, serta tidak ada sebuah model acuan yang seragam. Revolusi Perancis 1789-1799 dan perang saudara di Amerika Serikat 1861–1865 yang menelan korban jutaan orang sering disebut sebagai endogenous factor yang mendorong kedua negara perlahan memasuki era negara kesejahteraan. Karena kaum kaya biasanya enggan untuk berkurang kekayaannya, maka fungsi negara dengan seperangkat sistemnya penting untuk mendistribusikan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya, disamping untuk stabilisasi ekonomi, sosial serta politik.
Di negara liberal kapitalis seperti Amerika Serikat dan Australia, penduduk miskin, renta, terlantar dan cacat dijamin oleh negara dengan tunjangan yang cukup, beberapa urusan lainnya seperti childcare disubsidi oleh negara. Bahkan, negeri-negeri di kawasan Skandinavia telah lama menerapkan sebuah model pajak progresif berprosentase tinggi untuk membiayai hampir semua layanan dasar bagi rakyatnya. Dalam konteks ini, Indonesia jelas terasa lebih liberal dan kapitalis dari negara yang dianggap paling kapitalis sekalipun, dengan belum adanya sebuah mekanisme batas atas dan batas bawah bagi pemenuhan kesejahteraan sosial, hak paling azasi rakyat dari negara yang telah 64 tahun merdeka.
Justru sebenarnya perubahan UUD 1945 dalam kurun waktu 1999-2002 sebagai produk era demokrasi lebih riil mengakomodasi konsep negara kesejahteraan, misalnya dengan mewajibkan negara menyelenggarakan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan serta anggaran dua puluh persen untuk pendidikan dasar sebagai perwujudan “jembatan emas” kemerdekaan demi martabat manusia Indonesia seutuhnya.
Namun sungguh ironis, di pinggir-pinggir jalan dan rel kereta api di kota-kota besar terpampang orang-orang miskin, cacat dan terlantar serta anak jalanan tanpa dukungan yang berarti dari negara. Meski embrio bagi jaminan sosial masyarakat Indonesia secara seporadis telah ada seperti BLT, Askeskin, Jamkesmas, Dana BOS, PNPM mandiri sebagai upaya penanggulangan efek melambungnya harga BBM dunia dan krisis perekonomian global, namun terasa sekali kita tertinggal jauh dari negara-negara lain yang telah lama secara sistematis memberi jaminan sosial bagi warga negaranya.
Musuh negara kesejahteraan
Musuh utama sebuah negara kesejahteraan adalah korupsi yang merajalela. Beberapa waktu lalu kita dikejutkan dengan seorang Gayus, pegawai rendahan kantor pajak dengan kepemilikan rekening sebesar 28 miliar rupiah. Tak mengherankan sejak Indonesia merdeka rasio penerimaan pajak kita baru mencapai 13,5 persen GDP, jauh sekali dari negara semacam Denmark dan Swedia yang telah lama mempersembahkan welfare state bagi rakyatnya. Kasus Gayus dan rekan-rekannya ini membuat konsep negara kesejahteraan seolah menjadi ide yang “jayus” belaka, karena terbayang kesulitan untuk mewujudkannya.
Kwik Kian Gie mengungkapkan, di tahun 2005 saja kebocoran pajak kita mencapai 215 trilyun dari pencapaian realisasinya sebesar 500 trilyun, misalnya melalui mekanisme pembukuan ganda, transfer pricing dan tax avoidance lainnya yang seperti dalam kasus Gayus sering lolos melalui pengadilan pajak. Sedangkan potensi kehilangan pendapatan akibat berlangsungnya underground economy seperti illegal mining, logging, dan fishing pada tahun yang sama sebesar 263 triliun (pajak.go.id).
Mafia perpajakan dan bea cukai pada hakikatnya adalah pengkhianatan bagi ide besar negara kesejahteraan, demikian pula respon berlebihan untuk memboikot pembayaran pajak. Sebab membayar pajak bukanlah sebuah kebaikan hati, sebesar apapun jumlah nominalnya. Hal ini karena kaum usahawan baik WNI maupun investor asing telah diberikan ijin tempat berusaha, memanfaatkan sumber daya serta kekayaan alam yang ada dan jaminan keamanan untuk berusaha. Jadi kalau negara menetapkan penarikan pajak dan cukai melalui kesepakatan di dalam perundang-undangan, itu hal yang wajar saja.
Beberapa permasalahan menghadang
Meski telah terdapat upaya secara partikelir sukarela melalui mekanisme pasar “liberal” untuk membangun sistem jaminan sosial alternatif seperti asuransi kesehatan swasta, perencanaan dana pensiun secara mandiri dan sistem zakat dengan berbagai program inovatif untuk kaum miskin dan termarginalkan, tetaplah secara formal kenegaraan pemerintah dengan kewenangan menarik pajak dan cukai dengan varian tarif-tarifnya yang mendapat mandat besar dari konstitusi untuk mewujudkannya.
Sudah selayaknya Indonesia mengimplementasikan negara kesejahteraan meski banyak permasalahan menghadang, semisal kacaunya data kependudukan, penghasilan, penduduk miskin, cacat, orang terlantar, sebagai basis untuk pemberian jaminan sosial. Klaim ini diperkuat misalnya dengan kasus amburadulnya DPT Pemilu 2009 lalu saat partai-partai politik dan para kandidat presiden berupaya menarik dukungan dengan janji-janji kesejahteraan rakyat. Permasalahan berikutnya yang harus dipecahkan adalah kompleksitas penyelenggaraan otonomi daerah dengan pembagian wewenang dan urusan yang ada.
Sebagai bagian dari policy community, menjadi tugas kesejarahan partai-partai yang duduk di DPR bersama presiden dan menteri-menterinya saat ini untuk menjadikan tema negara kesejahteraan sebagai pokok bahasan substansial dan isu politik penting. Memang membicarakan tarif pajak adalah hal yang sensitif di negara manapun, namun tidak akan terwujud negara kesejahteraan kalau tarif yang rendah itupun masih bocor kemana-mana karena ulah para mafia. Dalam konteks ini maka pemberian hukuman mati bagi koruptor serta penggarong uang rakyat adalah wajar, karena cita-cita negara kesejahteraan adalah ide serius dari para pendiri negeri ini.

*Nico Andrianto, Mahasiswa Master of Policy and Governance Program, Crawford School of Economics and Government, Australian National University, Canberra, Australia

3 komentar:

  1. yang selama ini terjadi lebih cenderung pemerintah kesejahteraan...parpol menjadi pintu masuk untuk masuk dalam pemerintahan bagi para oprtunis...praktek2 politik transaksional menjadi salah satu batu sandungan terwujudnya negara kesejahteraan...ide negara kesejahteraan akan selalu menjadi isu seksi lewat wacana ekonomi rakyat hanya untuk mengeruk suara rakyat..tidak lebih...salam dari kota dingin

    BalasHapus
  2. Kalau didekati dengan sudut pandang politik memang begitu. Saya yakin mas Yusuf sangat pakar dalam hal tersebut. Namun saya membahasnya dengan pendekatan yang lebih substansial yang belum terlalu terpolusi politik praktis.

    Salam dari kota terdingin di Australia :)

    Nico

    BalasHapus
  3. Your opinion is useful

    BalasHapus