Rabu, 22 Oktober 2008

Pemilu 2009 dan Agenda Perang Antikorupsi


Sebagaimana Sun Tzu menginspirasi banyak kalangan bisnis, upaya pemberantasan korupsi sering dimetaforakan dengan pertarungan hard power. Para NGO antikorupsi memperkenalkan istilah ”perang melawan korupsi” untuk mendeskripsikan upaya sungguh-sungguh, sistematis, dilengkapi dengan perangkat dan strategi dalam upaya mengeliminasi tindakan korupsi.
Beberapa pihak menjadi subyek dan lainnya obyek dalam perang antikorupsi ini. Kesemuanya berada dalam pusaran dinamika kenegaraan lengkap dengan pergulatan wacana dan aspek politisnya melalui berbagai lembaga seperti KPK, BPK RI, Presiden, BPKP, Kejaksaan, Kepolisian, DPR, PPATK, MK dan segenap kekuatan masyarakat madani, baik dengan kontribusi positif maupun negatif.
Hasil sementara pertempuran antikorupsi menunjukkan peringkat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) negara kita tahun 2008 seperti dirilis TII mengalami kenaikan 0,3 dari skor 2,3 (2007) menjadi 2,6 (2008) yang sekaligus mendudukkan Indonesia pada peringkat 126 dari 180 negara yang disurvei.

Sabtu, 03 Mei 2008

Check and Balance Bernama KPK*


Beberapa saat lalu (22/04), KPK gagal melakukan penggeledahan ruang kerja anggota DPR yang diduga penerima suap dalam kasus pengalihan fungsi hutan lindung di pulau Bintan karena dihalangi oleh “institusi” DPR. Prosedur dan ”unggah-ungguh” dijadikan alasan penolakan DPR atas penggeledahan tersebut, meskipun ijin dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah dikantongi oleh penyidik KPK. Hilangnya “pendadakan” dalam penggeledahan tersebut bisa saja membuyarkan unsur seperti mencegah penghilangan barang bukti.
Belum lama berselang, DPR juga berseteru dengan grup musik Slank, dalam kasus lirik lagu ”gosip jalanan” yang dianggap menghina institusi. Upaya menuntut grup musik anak muda tersebut akhirnya urung dilakukan oleh Badan Kehormatan DPR, menyusul kasus ”tertangkap tangan”-nya anggota DPR oleh KPK dalam kasus yang sama. Adalah memalukan lembaga DPR melawan grup musik yang hanya beranggota lima orang anak muda, untuk lirik lagu yang telah diciptakan tahun 2004. Lebih tragis lagi karena seolah ”tangan Tuhan” mementahkan upaya tersebut.

Kamis, 13 Maret 2008

Auditor di Jaman ”Kalabendu”


Dalam orasi budaya saat pengukuhannya meraih gelar Doktor Honoris Causa di UGM, WS. Rendra mengatakan bahwa tanda-tandanya kita sedang berada di zaman ”Kalatida” dan ”Kalabendu” (Republika, 5 Maret 2008). Merujuk pada ”terawang” pujangga abad 19 Ronggowarsito, ”Kalatida” ialah zaman edan, dimana akal sehat diremehkan dan ”Kalabendu” zaman dimana tata nilai dan tata kebenaran dijungkirbalikkan secara merata. Dalam bahasa Ronggowarsito, di jaman ini banyak orang berlomba melakukan kegilaan, karena ”kalau tidak ikut gila, tidak mendapat bagian”.

Selasa, 19 Februari 2008

BPK PASCA ERA SOEHARTO



Selama 32 tahun membangun kekuasaannya, Soeharto menciptakan sistem yang menempatkan dirinya sebagai pusat kuasa. Dengan menghimpun segenap kekuatan ”kosmik” yang ada, semua organ negara, baik yang konstitusional maupun yang bersifat civil society, tunduk kepada personal presiden kedua ini. Kekuatan-kekuatan partai politik, birokrasi, militer, organisasi massa, lembaga negara, tak terkecuali BPK era Orde Baru berada di bawah hegemoninya. Di satu sisi, Soeharto membentuk BPKP yang difasilitasi secara maksimal, sambil di sisi lain membuat “kerdil” BPK sebagai pemilik kekuasaan konstitusional yang sesungguhnya.
Pertanyaannya kemudian, setelah sepuluh tahun reformasi, apakah BPK telah benar-benar memperoleh kembali posisi konstitusionalnya sebagai lembaga negara yang independen. Apa batu sandungan bagi upaya mewujudkan supreme audit institution yang tangguh.

Minggu, 06 Januari 2008

REVITALISASI BPK-RI DAN ERA OTODA


Tuntutan transparansi dan akuntabilitas publik atas penyelenggaraan negara menguat sejak bergulirnya gerakan reformasi yang dipelopori oleh para mahasiswa. Namun, gelombang besar tuntutan perubahan itu dirasakan tertahan dan berjalan lambat ketika diterjemahkan dalam gerak di lapangan sistem birokrasi aparat pemerintahan. Sebagai penjabaran atas tuntutan itu memang penataan kelembagaan negara sebagai produk legislasi telah dihasilkan, seperti dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial serta dengan dibubarkannya Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Untuk mendorong terlaksanyanya clean and good governance juga telah dibentuk lembaga semisal KPPU, PPATK, dan terutama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Mengembalikan Mindset Pemeriksa BPK-RI


Peralihan dari era otoriter ke era demokrasi selalu menyisakan banyak Pekerjaan Rumah. Era kebebasan pers sebagai anak kandung demokrasi telah mendorong transparansi bak terbitnya cahaya mentari di pagi hari. Perlahan namun pasti, terkuaklah banyak penyimpangan yang dilakukan oleh para pengelola negara, khususnya dalam hal keuangan. Kasus-kasus korupsi oleh aparat pengelola negara yang terekspose menjadi obyek tatapan mata penuh amarah rakyat pemilik negeri ini.
Di negara yang terlalu lama menjalankan kleptokrasi, kerja aparat pemeriksa keuangan negara biasanya terlanjur tidak efektif. Aparat pemeriksa telah “dibonsai” dengan berbagai cara dan akhirnya tunduk kepada penguasa. Tak heran banyak penyimpangan pengelolaan keuangan negara bisa lolos begitu saja. BPK era Orde Baru sadar atau tidak telah terseret lingkaran siklus penjarahan keuangan negara secara sistemik. Untuk memutusnya perlu terobosan solusi yang sistemik pula.