Kamis, 30 Desember 2010

Belajar dari Pengelolaan Alam Lingkungan di Australia

Segar dan melegakan paru-paru, begitulah udara yang saya hirup di Canberra. Meski Matahari terik menyengat, namun angin terasa dingin di awal musim panas itu. Beraneka tumbuhan empat musim menghiasi seantero kota. Beberapa jenis cemara mengeluarkan aroma yang khas. Pengaturan tata ruang kota yang bagus dan konsisten, larangan membakar sampah dan kepadatan kendaraan yang rendah turut mendukung lingkungan yang alami tersebut.

Di pagi dan sore hari kita akan disambut koak-an suara aneka burung. Burung-burung di sini memang bebas merdeka. Bebek (Plumed Whistling Duck) dan angsa hitam (Black Swan) datang dan pergi dari berbagai kolam dan danau yang ada di Canberra. Sementara, Kakaktua putih (Sulphur-crested Cockatoo), Kakaktua merah (Galah), gagak, Australian Magpie, jalak, merpati, maupun aneka burung parkit yang berwarna-warni juga bebas berkeliaran. Mereka berkelompok di taman-taman kota, rerumputan pembatas jalanan, termasuk di halaman flat saya di bilangan Campbell.

Rabu, 29 Desember 2010

Makanan Indo di Oz

Apa respon orang lapar saat menemukan makanan favorit, misalnya sambal teri yang pedas atau manis gurih pada jarak ribuan kilometer dari pembuatnya? Apalagi sambal teri tersebut sudah terhidang diatas piring dengan nasi hangat yang pulen, diperlengkapi dengan kerupuk udang. Ada kalanya dengan aroma jengkol kesukaan atau terasi yang sedap atau tahu tempe yang sangat langka. Jawabannya pasti siapapun akan melahapnya dengan senang hati.

Begini, jika setingannya dirubah agar semakin jelas. Anda berada di kota kecil di Australia, setiap hari makanan yang tersedia adalah khas Eropa, atau dari sudut dunia lain. Terus ada toko kecil menjual produk makanan Indonesia dengan harga yang terjangkau untuk ukuran Dollar meski tak murah untuk ukuran Indonesia. Juga terdapat label halal. Tentu yang anda lakukan adalah membelinya dengan gembira. Percaya nggak, hal terkait makanan ini yang mendorong perdagangan produk Indonesia di Australia.

Jumat, 24 Desember 2010

Etos Australia

Sapaan hangat, “hello mate”, sering saya terima saat membersihkan sebuah residential area di pagi hari. Sedangkan pada kesempatan lainnya, “Good day, mate”, atau “how are you going”, dengan senyum mengembang. “Work is work, mate!”, suatu saat seorang tetangga flat dengan muka protes menjawab “cengir malu” saya yang barusan mengaku kerja sebagai cleaner.


Selain itu kebanyakan orang Australia yang saya temui adalah suka menolong. Pernah suatu ketika saya ketinggalan kunci di dalam rumah, dan diluar dugaan saya para tetangga membantu dengan senang hati mengantarkan ke agen rumah untuk mendapatkan kunci cadangan. Pernah juga seorang ibu berlari kecil memberikan lukisan anak saya yang terjatuh saat di jalan. Namun pernah juga saya ditegur, “that’s not a rubbish bin!”, gara-gara saya buang tissue di pot bunga childcare anak.

Kamis, 23 Desember 2010

Australia dari Dekat: Kehidupan sehari-hari

Sore itu aku menemukan sebuah pesawat televisi tergeletak di tempat sampah Toad Hall, asrama mahasiswa ANU. Dengan gerakan senyap serta sebisa mungkin menghindari memberikan jawaban yang “memalukan” kepada penghuni lain, kamipun segera memindahkan kotak ajaib itu ke kamar dan mencobanya. Ternyata teve masih berfungsi dengan baik. Ternyata mitos di negara maju banyak barang berharga dibuang adalah benar adanya. Itulah perjumpaan budaya pertama kami dengan Australia.


Dari layar kaca itupun perjumpaan-perjumpaan lainnya menjadi semakin intens. “Di Australia acara televisi sama payahnya dengan di Indonesia”, kata dosen pembimbing akademik kami yang memang lumayan sering ke Indonesia. “Karena banyak opera sabun dan hal-hal remeh-temeh yang diproduksi karena motivasi rating”, tambahnya. Namun kalau mau jujur, disini acara sedikit lebih bagus. Minimal banyak acara edukatif dan terdapat channel khusus untuk anak-anak yang menumbuhkan kreatifitas serta menjauhkan mereka dari tayangan dewasa di channel lainnya. Tayangan multicultural ada di salah satu channel, SBS. Selebihnya adalah tayangan “Eropa”, “Amerika” dan “Inggris”.

Selasa, 21 Desember 2010

Solidaritas Bencana dari Australia

Persaudaraan dalam Islam ibarat “jika satu bagian tubuh sakit, maka bagian tubuh lainnya juga merasakan sakit”. Bangsa kita berturut-turut dilanda bencana alam mulai dari banjir bandang di Wasior, tzunami di Mentawai dan letusan gunung Merapi. Duka itu juga dirasakan oleh saudara-saudaranya yang tinggal jauh bumi belahan selatan, Australia. Sebagai perwujudan kepedulian warga Indonesia di Australia, beberapa kegiatan penggalangan dana dilakukan dalam periode bulan November sampai Desember 2010 dalam berbagai bentuknya.

Panitia peringatan hari besar Islam (PHBI) Canberra pada 12 November yang lalu menghadirkan Ust. Yusuf Mansur dalam rangkaian Tabligh Akbar penggalangan dana untuk korban bencana alam di Indonesia. Berbondong-bondong para “ekspatriat” warga Indonesia yang tinggal di Canberra hadir di Balai Kartini KBRI Canberra untuk mengikuti acara sebagai bentuk kepedulian terhadap saudara di Tanah Air yang tertimpa bencana. Mereka datang dari berbagai “profesi”, mulai dari mahasiswa, cleaner, diplomat, house keeper, ibu rumah tangga, pengusaha, dan seluruh komponen masyarakat muslim lainnya.

Minggu, 19 Desember 2010

Museum-Museum Australia

Meski termasuk “muda” secara sejarah dan budaya, Australia memiliki banyak sekali museum. Museum imigrasi, museum binatang, museum maritim, museum archieve, museum film dan audio, museum pencetakan uang, museum pendirian jembatan Sydney, war memorial dan museum kota Canberra untuk menyebut beberapa diantaranya. Australia seakan terus menuliskan sejarahnya dengan membangun berbagai museum tersebut.


Kebanyakan museum milik pemerintah Australia adalah free of charge alias gratis, namun dengan fasilitas, koleksi dan pelayanan yang sangat bagus. Penataan koleksi dilakukan secara detail dengan perencanaan yang matang, termasuk dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan visualisasi tiga dimensi. Audio visual dirangkai dengan berbagai koleksi untuk memperkuat tema-tema yang relevant.

Museum di Australia jauh dari kesan angker, lembab dan membosankan. Pada berbagai momentum, museum Australia juga menampilkan berbagai tema-tema tertentu yang menarik banyak pengunjung termasuk anak-anak sekolah, pensiunan dan khalayak umum. Selain untuk mengenal sejarah bangsanya, datang ke museum juga berarti untuk memperoleh berbagai ilmu pengetahuan yang berguna.

Selasa, 30 November 2010

Radio Australia

Tanggal 22 November yang lalu adalah hari bersejarah bagiku. Jika sebelumnya hanya bisa mendekati perwakilan Radio Australia di Canberra maupun Sydney, juga outlet ABC yang menjual macam-macam DVD, buku dan souvenir, hari itu aku “berhasil” mengunjungi kantor pusatnya di Southbank dekat sungai Yarra, Melbourne. Maklumlah, event itu telah aku nantikan lebih dari dua puluh tahun lamanya. Karena, jauh sebelum aku punya anak, menikah, bekerja, atau kuliah, saat SMP sampai SMA dulu tiap pagi dan sore aku mendengarkan siaran Radio Australia bahasa Indonesia. Aktivitas itu aku lakukan sambil menunaikan tugas menyapu lantai atau mencuci piring rumah, di Blitar.
Siang itu aku bertemu dengan para penyiar legendaris favoritku yang segera menyergapku dengan keramah-tamahan. Aku temui suara penuh wibawa Hidayat Djajamiharja. Kujumpai flamboyannya Oska Leon Setiyana. Kudengar secara life, suara mantab Juni Tampi yang selama ini hanya bisa aku dengarkan melalui acara warta berita. Eny Wibowo tampil seperti dalam bayanganku selama ini. Sayang, penyiar gaek lainnya seperti Edy Tando dan Istas Pratomo yang nyentrik sudah pensiun. Aku adalah pendengar Radio Australia pasca periode Ebet Kadarusman (alm), generasi ayahku. Beberapa penyiar generasi baru tak kalah ramah dan humble-nya. Sedangkan Dian Islamiati Fatwa, sangat memahami kebahagianku hari itu yang dengan telaten memperkenalkan kehadiranku dan menunjukkan berbagai fasilitas siaran yang ada.

Selasa, 02 November 2010

Implementing Performance Audit Toward More Accountable Governance in Indonesia

Introduction
Indonesia that has 33 provinces, 399 regencies (Kabupaten) and 98 municipalities (Kota) was implementing decentralization of government since the reform era. By this process, the local people expect will get higher benefit from their local administration through well managed projects and programs, also accountable, transparent, efficient and effective conduct of its financial system. The local stakeholders also hope responsiveness from their local government to fulfill their aspiration and real interests.
However, the reality in the ground is opposite with the public expectations. The level of selective governance indicators situated Indonesia in relatively low amongst countries in the world in the score of voice and accountability and rule of law (Kim, 2009, p.331). Klitgaard (1988 cited in Larmour, 2007, p.351) stated that corruption is happening because disappearance of accountability when officials have monopolies of power and high discretion to action. Furthermore, Larmour (2007, p.350) argued that corruption caused by bad individual, bad system and some combination.  

Rabu, 27 Oktober 2010

Middle Class and Socio-Political Dynamics in Indonesia

Middle class is a phenomenon both in developed and developing countries. The influence of this social entity is not only economical as consumer of any products, but also social and political. Even though it is relatively small in number, middle class cannot be neglected as socio-political driver in many countries, including in Indonesia as a democratizing country. In the case of Indonesia, I argue that middle class has vital role during reform process in 1998 and still has significant role in socio-political dynamics after regime changes.


By definition, middle class is the layer of people who socially situated intermediate between higher and lower class who has average condition of income, education, status and taste (Webster’s Unabridged Dictionary, 2006). More economical, The Economist (2009, cited in Abjorensen 2010) made a definition of middle class as “having a reasonable amount of discretionary income, so that they do not live from hand to mouth as the poor do, and defined it as beginner at the point where people have roughly a third of their income left for discretionary spending after paying for basic food and shelter”.

Kamis, 07 Oktober 2010

Eid al-Fitr Festival 2010 di Canberra

Thursday, 07 October 2010 08:16 Jalan-Jalan.


Hidayatullah.com--Awal musim semi lalu, saat suhu udara Canberra mulai hangat dan bunga Sakura di berbagai sudut kota bermekaran, diselenggarakan festival Eid al-Fitr. Acara ini adalah sebentuk silaturahmi kaum muslim terhadap warga ibukota Australia. Memang, di negara seperti Australia, salah satu cara terfavorit untuk memperkenalkan keberadaan sebuah komunitas adalah dengan mengadakan festival. Selain untuk mendapatkan pengakuan, festival juga ditujukan untuk mempersatukan berbagai kelompok agar bisa membaur dan akhirnya diterima oleh lingkungan yang lebih luas.

Jumat, 01 Oktober 2010

The Impact of Globalization on Political Institution in Indonesia

Introduction


Globalization process in the last three decades changes configuration of the world’s economy, social, culture and politics in unprecedented way in our history. The process toward borderless world challenges every nation state in the globe in the effort to get something from the ongoing process that can make better off or worst off. The continuing of changing process of the world needs adjustment in nation state institution. In the more competitive situation, the failure in respond to globalization could lead to disastrous condition for nation state, as proofed by the fall of Berlin Wall, and the collapsed of Sovyet Union and former Yugoslavia.

Institutional adjustment is needed in respond to this process, to maintain the competition to reach efficiency and effectiveness of the government. Moreover, the pressure of changes toward more globalize government because of effects of globalize economy, should be supported by political institution adjustment. This essay will elaborate adjustment on political institutional in Indonesia in respond to many impacts of globalization process. Since analyzing globalization impacts on political structure is a complex effort, it needs deep understanding and familiarity of the country object. Indeed, focusing in one country (Indonesia within and post-Soeharto era) that in the process of democratizing is an effort to get comprehensive analyses.

Deciding Public Interest

In many democratic countries, the issues of public interest are becoming more relevance related to the debate on agreement and disagreement that has political, economic and social implication. The debate is commonly happened in parliament as the ultimate decision maker on policy related to public interest and unavoidably transmitted through mass media to become public concern. To make a policy decision-making, politician and government official should do a concept elaboration and judgment in terms of public interest however in some cases they indicated involve their individual or sectional interest into the debate.


It is important to clearly distinguish between public interest and individual/sectional interest in relation to privatization of state own enterprises, clean air or water, public broadcast, taxation policy, public infrastructure, and other recent issues. Academically, Mulgan (2000, pp. 3-4) explained that public interest has similar concept with “the common good” or “the public benefit”, while the public in this context refers to inclusively all members of a community constraint by territorial boundaries and constitution or common system of government. Indeed, conceptually the public interest must cover all members of political community without exception.

Sabtu, 21 Agustus 2010

Impacts of Globalization for Indonesia

Globalization or global village becomes a popular public policy term in the late 80’s. Literally globalization is defined as a process of being interdependence and interconnected among countries in the world. This process originally boosted by free trade and advancement of information technology especially the internet revolution. Capital, news, currencies exchange and investment could flow freely around the world in the measurement of second. Many countries were joining transnational free trade agreement such as APEC and AFTA, while, in the same time, there were many business entities operating trans-nationally.


In recent days, globalization is not the matter of when will happened, but how globalization shapes and effects community which could be appear on export-import, exchange of culture, globalized food and lifestyle and in the negative side transnational crime and internationally organized terrorism. Globalization as inevitably process had bad and good impacts on all community around the globe. For the purpose of this essay, community refers to country, local community and surrounding as the writer experiencing as a member.

Globalization has been a common phrase of Indonesian leader in the 1990’s, since the New Order regime promoted it as unavoidable process. The popular sentence of former President Soeharto was, “we cannot avoid globalization process, but we need benefiting from it”. Since then, many local leaders was echoing globalization as popular term in their official speeches, sometimes exactly with not clear meaning or context.

Problems of Bureaucracy in Developing Countries

According to Huges (2003), bureaucracy in developing countries could be characterized organizationally, culturally and structurally. Organizationally, it has strict hierarchies’ norm as continuation of colonial government practices. Moreover, the post-colonial government in developing countries tends to be heavy bureaucracy and slow-moving. Culturally, government employee recruited in lifetime basis as a prestigious and “well-paid” career. Structurally, some of bureaucracies were influenced by socialism or Marxism model, that in their economic model many developing countries adopting strong state sector.


However, Weber (in Huges, 2003) stated that principles of traditional bureaucracy as; first, fixed jurisdictional areas that set by regulation, second, principle of hierarchical office, third, management by the written rules, fourth, expertise to operate office management, fifth, demands for full professionalism to operate official activity and sixth, management follows some basic rules. These principles adopted by many post-independence countries in the world after World War II with varying degree of consistency.

Even though some developing countries have long history of their own administration before colonization, however in post-independence they have many weaknesses aspect in their government. Bureaucracy in developing countries, especially in post-colonial era, tends to only continue the system of colonial government without considering the philosophy inside it. Furthermore, many local governments failed to creatively adjust to the new concepts of public management.

Kamis, 19 Agustus 2010

Semarak Ramadhan Muslim Indonesia di Canberra

Dimuat di Eramuslim.com, Kamis, 19/08/2010 08:28 WIB


Menunaikan puasa Ramadhan di negeri orang adalah sebuah tantangan keimanan tersendiri. Kaum muslim harus siap tidak mendengar kumandang azan atau penanda waktu imsak/berbuka, absennya spanduk ucapan Ramadhan, tanpa acara TV islami ataupun juga komersialisasi Ramadhan lainnya seperti di Tanah Air. Kebanyakan orang “Barat” memang tidak berpuasa dan kehidupan mereka berjalan sebagaimana biasa.

Yang menyejukkan perasaan, tidak ada perbedaan awal puasa Ramadhan di Canberra seperti yang sering terjadi di Tanah Air. Pengumuman awal Ramadhan dari Canberra mosque, satu dari dua masjid di seluruh Australian Capital Territory (ACT), disampaikan melalui sms dan secara cepat menjalar melalui milis-milis komunitas muslim. Selebaran kalender jadwal puasa diberikan secara gratis oleh beberapa sponsor dari kalangan pengusaha muslim di Canberra seperti penjual kebab dan grill ataupun chemist.

Puasa Ramadhan kali ini bertepatan dengan musim dingin di “kota terdingin” di Australia ini. Imsak yang jatuh pada pukul 5: 10 am waktu ACT diliputi suhu sampai minus 4 derajat celsius yang menghadirkan morning frost di pagi hari. Untungnya, kami tidak terlalu merasakan lapar dan dahaga dalam menjalani puasa sampai waktu maghrib menghampiri sekitar pukul 5:32 pm yang biasanya berkisar pada suhu 8 derajat celsius.

Senin, 26 Juli 2010

Kisah dari Dunia Karpet


Hidayatullah.com Monday, 26 July 2010 10:21 JALAN-JALAN
Karpet adalah seiris produk budaya yang masih tersisa. Kaum Muslim memilikinya sebagai ”tempat terhormat” untuk ibadah

HARI itu aku menurunkan gulungan karpet dari container. Membuka serta menatanya serapi mungkin di lantai pameran. Karpet dan rug (permadani) dari Iran, India, Afrika utara, Afghanistan, Pakistan, Turkmenistan, Azerbaijan, Kashmir dan Turki dengan berbagai ukuran, motif, corak, kehalusan dan harga kami hampar bertumpuk-tumpuk. Beberapa lainnya ditempel atau dijajarkan di dinding untuk memperindah tampilan pameran yang digelar rutin di Canberra setiap empat bulan ini.

Liburan semester kali ini aku gunakan untuk mengumpulkan dollar dengan bekerja di sebuah pameran karpet. Bekerja di Albert Hall kali ini benar-benar kerja casual dalam sebuah sistem yang sangat efisien, menggunakan time check log bahkan untuk sekedar istirahat 15 menit.

Maklum, sebagai kapitalis modern, penjual karpet yang telah berkeliling Australia sejak 1952 ini rupanya tidak mau rugi dengan kelebihan menggaji 10 orang, termasuk kami para mahasiswa ini.

Selain motif-motif baru atau motif modern, motif lama yang direpro ulang turut memperkaya motif-motif karpet yang ada saat ini. Karpet dan permadani buatan tangan dengan berbagai kehalusan dan keindahan corak tersebut terbuat dari wol atau sutera dan berharga mulai ratusan sampai puluhan ribu dollar.

Yang termahal dibanderol 45.000 atau setara dengan harga 45 mobil bekas atau dua mobil sport baru di Australia.

Tapi apa yang bisa diceritakan dari sepotong karpet selain permadani terbang dalam kisah “Negeri 1001 Malam?”

Jumat, 18 Juni 2010

Gayuskah ide Negara Kesejahteraan?


Kunjungan kenegaraan SBY ke Australia beberapa bulan yang lalu efektif menghentikan beberapa hari “percekcokan abadi” di Parlemen Australia. Perdana menteri Kevin Rudd dan pemimpin oposisi Tony Abbot “terpaksa” jeda dari saling serang berbulan-bulan lamanya, terkait rancangan kebijakan layanan kesehatan dan kegagalan program pemasangan insulasi rumah demi menghormati kunjungan sang pemimpin negeri tetangga di utara.
Belum lama berselang pula, Barack Hussein Obama dua kali menunda rencana kunjungan kenegaraannya ke Tanah Air, karena harus memastikan rancangan undang-undang tentang reformasi jaminan kesehatan untuk 32 juta rakyat miskin seperti yang dijanjikannya berhasil digolkan. Kehadiran presiden pertama keturunan Afro-Amerika di parlemen disertai testimoni beberapa “korban” buruknya sistem layanan kesehatan yang sekarang, efektif memberi semangat tempur “kaum Demokrat” yang akhirnya memenangkan voting.
Negara kesejahteraan
Di kedua negara maju diatas, perdebatan mengenai tema-tema negara kesejahteraan menjadi menu utama urusan pemerintahan. Sebenarnya pemikiran tentang negara kesejahteraan bersemayam pula di benak para founding fathers kita. Jejaknya masih jelas bisa kita baca di dalam konstitusi di pasal 34 yang berbunyi, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Empat kali amandemen UUD 1945 tidak menghapus cita-cita “keramat” bangsa yang dahulu berhasil mengobarkan semangat perlawanan bersenjata rakyat yang terjajah.

Senin, 31 Mei 2010

Does Democracy Prerequisite for Development?


Introduction
Western countries which are commonly developed country for many decades practicing democracy in their government. Even though, the term of democracy itself has multi-facets of interpretation, however influencing expert such as Huntington, simplify it (in Bartley, et. al., 1993, p. 28) to become “a means of constituting authority in which the ruled choose the ruler”. Substantive democracy constitutes the adult populations which are eligible to vote their representatives in fair, hones and periodic elections as the real ruled. For the purpose of this essay, democracy will be defined as substantive democracy in which going to election only one indicator to measure the essential implementation of democracy.
Furthermore, many factors basically as nature of democracy such as political freedom, freedom of expression and free press. These principles are reflected in all citizens’ right that are being equal before the law and having equal access to power and liberties which are commonly protected by a state constitution. However, many countries in Asia substantively are not democratic country but could be identified through their advanced achievement in development. This essay will argue that democracy is not a precondition for, but necessarily needed by the mature developed country.

Sabtu, 22 Mei 2010

Menengok Muslim Lakemba, Australia


Saat berada di Lakemba, saya seperti berada di sebuah negeri Arab atau Asia Selatan
Hidayatullah.com--Berkunjung ke Australia hampir menjadi sebuah obsesi saya sejak remaja. Maklum, semenjak sekolah menengah dulu saya terbiasa mendengarkan siaran Radio Australia yang banyak menceritakan tentang keindahan alam negeri benua yang terletak di sebelah selatan Indonesia ini. Kesempatan itu akhirnya datang juga dengan diberikannya beasiswa dari pemerintah Australia kepada saya untuk jenjang pendidikan lanjutan di negeri Kanguru.
Di sela-sela kesibukan menuntut ilmu, saya berkesempatan pula melancong ke beberapa tempat di negeri yang berpenduduk asli suku Aborigin dan lebih banyak berupa padang pasir ini. Sebuah pengalaman mengesankan saya rasakan ketika berkunjung ke Lakemba di negara bagian New South Wales.
Saya menemukan komunitas muslim yang ramai di suburb yang hanya berjarak lima belas kilometer dari pusat kota Sydney ini. Daerah Lakemba bisa dicapai dari Sidney dengan menggunakan bus, kereta api atau mobil.

Kamis, 06 Mei 2010

Belajar dari Kosmopolitanisme di ANU


Harus jujur saya akui, saya merasa beruntung bisa merasakan kosmopolitanisme Australian National University (ANU), sebuah universitas dengan mahasiswa dari berbagai etnik bangsa di dunia. Bukan karena Indonesia bukan negara multi-ethnic, tetapi keragaman di Australia lebih kaya.

Saya tidak akan pernah melupakan saat pertama di Crawford School of Economic and Government berjumpa teman-teman dari berbagai negara, para mahasiswa berbakat dari berbagai sub-kultur Asia-Tengah, Selatan, Tenggara, Timur, Afrika, Pasifik, Eropa serta Australia.

Sabtu, 01 Mei 2010

Memimpin dengan Kerendahan Hati


Saat menghadiri pidato ilmiah di ANU, saya beruntung berkesempatan berjabat tangan dan ngobrol singkat dengan sang pembicara tunggal, Kevin Rudd. Diluar dugaan saya, Perdana Menteri Australia ini begitu mudah didekati, ramah dan jauh dari kesan protokoler seorang kepala pemerintahan dari negara berpenduduk 22 juta orang. Meski tetap saja tergambar ketegangan di raut wajah dosen pengantar kami, pertemuan pemimpin Australia dengan para mahasiswa dari Indonesia berlangsung penuh bersahabat dan benar-benar easy going.

Ini sungguh, buktinya dia menyapa kami dengan kata “Selamat malam”, dan lalu menyebut “Surabaya?” ketika saya katakan berasal dari Jawa Timur. Bukan semata karena pengetahuannya tentang Asia yang sangat mumpuni sebagaimana pidato ilmiahnya tentang China malam itu cukup presisi dan ditaburi berbagai ungkapan dalam bahasa mandarin yang fasih, di berbagai kesempatan pemimpin Partai Buruh Australia ini memang dikenal cukup friendly.

Kamis, 29 April 2010

Policy-Making Process


There are three stream models of policy-making proposed by Kingdon (1984), which first is political stream, second is problem stream and last is policy stream. These three models in any degree determine the participation of policy community members and the relative power amongst them.
First of all, politician, even though Nevile (2002, p.7) stated in her analytical framework is not a policy community member, has a huge interest to rise up their acceptability from their constituent using the decision-making power they have. Not surprisingly, in democratic country the ruling party will struggle to fulfil its promises to constituent. In the case of the USA recently, Obama’s party (The Democratic Party) trying to push the bill on health insurance for thirty two million citizens, even hardly blocked by many insurance companies represented by the opposition party (The Republican Party). Thus, in the light of this perspective, the policy outcome is very powerfully droved by political interest.
On the other hand, to solve many problems, policy community members such as professional organisations, business associations, universities, voluntary bodies, bureaucrats, specialists/experts (Colebatch 2002, p. 28) that are interlinked through policy network have a central role and finally deciding factor in policy-making process. Commonly, these type of problems and solve opportunity coming from crises or disaster (Grindle & Thomas 1991, pp. 92-93).

Sabtu, 27 Maret 2010

Zakat System for the Poor in Indonesia


Background
Indonesia is the world largest muslim democratic country in the world, which has 88.2% or consist of 202.9 million muslim population in the country (The Pew Forum on Religion and Public Life, 2009). The growing awareness of religion in Indonesia has been dramatically happened in the late 1990’s or the end period of the New Order regime. Indication of this advance for example, more muslim women wearing hijab, more people going to mosques for prayer and also the raising up awareness among muslim to pay zakat as a religion obligation.
Zakat is very important for muslim as one of “five pilar of islam”, besides profession of faith, prayer five times a day, fasting during the month of Ramadhan, and pilgrimage to Mecca (Clarc, 2001, p.52). Alfitri (2006) argued that zakat system has long root from the beginning of Islam, from the Prophet Muhammad era, his successors and continued functioning in many muslim governments until the fall of Ottoman Empire.

Kamis, 25 Maret 2010

Nikmatnya Ikut Jumatan di ANU


Dalam kondisi minoritas, muslimin di Australia benar-benar melupakan segala perbedaan mazhab dan urusan “kecil” lainnya

Hidayatullah.com--Lantunan adzan Jumat kali ini pendek-pendek bernuansa Tiongkok, sedikit berat namun lembut penuh penjiwaan. Abdul, seorang keturunan Xinjiang yang melantunkannya, begitu menghayati peran barunya. Hari itu ia menggantikan tugas muazin yang kebetulan telah menyelesaikan pendidikannya dan pulang ke Indonesia.

Biasanya, mahasiswa undergraduate itu, sebagaimana mahasiswa lainnya secara sukarela ikut membantu menyiapkan tempat sholat, seperti membentangkan karpet dan tikar atau mempersiapkan kursi dan meja untuk khotib.

Selasa, 09 Maret 2010

Cleaner


Di suatu siang, saya sholat dhuhur di basement sebuah gedung perkantoran elit di bilangan Kuningan, Jakarta. Tak dinyana, sang imam sholat adalah seorang cleaner yang sering saya jumpai membersihkan ruangan-ruangan di gedung tersebut. Dengan tampilan pakaian seragam yang bersahaja namun penuh fungsi, sang cleaner dengan tanda hitam bekas sujud di dahinya memimpin ritual sembahyang para pekerja dari berbagai negara yang mungkin beberapa diantaranya adalah bos di perusahaan-perusahaan multinasional yang berkantor di gedung berlantai tiga puluh dua tersebut.
Alangkah indahnya agama ini yang memberikan persamaan derajat di hadapan Sang Pencipta. Bahwa dihadapan Sang Khaliq, tak ada pembedaan tingkatan profesi atau penderajatan lainnya yang diciptakan manusia. Namun, saya menangkap kesan yang tak bisa ditutupi bahwa seorang cleaner yang berkutat membersihkan barang-barang kotor tersebut, ternyata mempunyai religiusitas lebih tinggi dibanding para pekerja berdasi, meski hal tersebut bisa jadi sebuah generalisasi yang ceroboh. Yang jelas, dalam sholat seorang yang datang lebih dulu akan mendapatkan shaf di depan, sementara saat itu banyak para karyawan berdasi yang hadir dan mengisi barisan-barisan belakang.

Senin, 08 Maret 2010

Critiques on Sachs’ article: “The Development challenge”*


“There is an ideological consideration behind this (policy)”, Sachs (2009) criticizes his opponent in one interview with the CBC TV station. As an economist-celebrity, running with Bono and Angelina Jolie, Sachs has been campaigning alleviation of extreme poverty movement for many years. Not only trough his position as Ban Ki-Moon’s (United Nations-Secretary General) special advisor, his great achievement on academic career gives him authority to speak out about poverty alleviation and also health aid policy. His thought on MDG’s targets which ambitiously trying to decrease a half of poverty in 2015, giving hope among people in poorest countries in Sub-Saharan Africa, Asia and the rest of the world. This paper will argue that Sachs’s stance has strong argument and practical basic, but lack of detail in many areas.
Sachs’ position on economic thinking is very special, since he has an United States citizenship, has many experiences as problem solver in many countries from Bolivia, Poland, Russia, China to India and especially as a retired IMF’s economist (from 2002 to 2006). Although, Sachs is living and growing in a capitalist country and ever works on many prestigious international financial institutions, his opponents named him likely a social activist, because in many occasions Sachs critiques The US administration because their lack of attention to the poor countries.