Minggu, 06 Januari 2008

REVITALISASI BPK-RI DAN ERA OTODA


Tuntutan transparansi dan akuntabilitas publik atas penyelenggaraan negara menguat sejak bergulirnya gerakan reformasi yang dipelopori oleh para mahasiswa. Namun, gelombang besar tuntutan perubahan itu dirasakan tertahan dan berjalan lambat ketika diterjemahkan dalam gerak di lapangan sistem birokrasi aparat pemerintahan. Sebagai penjabaran atas tuntutan itu memang penataan kelembagaan negara sebagai produk legislasi telah dihasilkan, seperti dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial serta dengan dibubarkannya Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Untuk mendorong terlaksanyanya clean and good governance juga telah dibentuk lembaga semisal KPPU, PPATK, dan terutama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Mengembalikan Mindset Pemeriksa BPK-RI


Peralihan dari era otoriter ke era demokrasi selalu menyisakan banyak Pekerjaan Rumah. Era kebebasan pers sebagai anak kandung demokrasi telah mendorong transparansi bak terbitnya cahaya mentari di pagi hari. Perlahan namun pasti, terkuaklah banyak penyimpangan yang dilakukan oleh para pengelola negara, khususnya dalam hal keuangan. Kasus-kasus korupsi oleh aparat pengelola negara yang terekspose menjadi obyek tatapan mata penuh amarah rakyat pemilik negeri ini.
Di negara yang terlalu lama menjalankan kleptokrasi, kerja aparat pemeriksa keuangan negara biasanya terlanjur tidak efektif. Aparat pemeriksa telah “dibonsai” dengan berbagai cara dan akhirnya tunduk kepada penguasa. Tak heran banyak penyimpangan pengelolaan keuangan negara bisa lolos begitu saja. BPK era Orde Baru sadar atau tidak telah terseret lingkaran siklus penjarahan keuangan negara secara sistemik. Untuk memutusnya perlu terobosan solusi yang sistemik pula.