Minggu, 16 September 2007

URGENSI AUDIT PAJAK OLEH BPK RI


Tanggal 19 Juni yang lalu, DPR RI mengesahkan Undang-Undang No.28/2007 (pengganti UU No 16/2000) tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Konsep dasar KUP ini mengacu pada model Amerika Serikat, dimana dipakai sistem self assesment, yaitu sebuah bentuk keleluasaan kepada wajib pajak untuk melaporkan sendiri jumlah pajak yang harus dibayarkan kepada negara.
Salah satu alasan pemberlakuan self assesment adalah semakin banyaknya jumlah wajib pajak (lebih dari sepuluh juta NPWP) yang harus dilayani yang menyebabkan petugas pajak (fiskus) tidak bisa lagi meng-cover penentuan tarif pajak (official assesment) terhadap semua wajib pajak. Penggelapan yang dilakukan atas pembayaran pajak, diberikan konsekuensi sanksi berat berupa denda berlipat ataupun pidana yang diharapkan memberi efek jera.
Dibanding dengan negara-negara di kawasan Asia tenggara, tax ratio penerimaan pajak kita paling rendah (berkisar 13,5% PDB dibanding rata-rata 17%), yang seolah paralel dengan stempel negara kita sebagai terkorup ke-2 di Asia dan ke-7 di dunia. Menurut Kwik Kian Gie, setiap tahun perkiraan pajak yang diselewengkan oleh para wajib pajak adalah sebesar 215 trilyun (2005). Selain itu, terjadi pula potensi kehilangan pendapatan pajak sebesar 263 triliun akibat berlangsungnya underground economy seperti pembalakan hutan, illegal fishing, illegal mining, dan lainnya (pajak.go.id). Jumlah ini sangat besar untuk ukuran Indonesia yang realisasi penerimaan pajaknya berkisar 500 trilyun setahun.

MIMPI INDONESIA 2030 DAN BPK RI


Merujuk pada ukuran sejarah, Indonesia yang berumur 62 tahun memang belumlah tua. Wajar kita percaya, NKRI pada saatnya akan meraih puncak kejayaannya seperti impian para pendirinya. Di tengah hiruk-pikuk transisi demokrasi dan segala keterbatasan, kita bersyukur masih bisa membayangkan Indonesia 23 tahun kedepan. Negeri kita pada tahun 2030 diproyeksikan oleh Yayasan Indonesia Forum akan berpendapatan 18.000 dollar AS, mampu mengelola kekayaan alam secara berkelanjutan, mewujudkan kualitas hidup modern dan merata, serta mengantarkan 30 perusahaan Indonesia dalam daftar Fortune 500. Pendeknya, Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi kelima dunia.
Selain ukuran-ukuran kinerja ekonomi seperti pertumbuhan 7,62%, inflasi 4,95%, dan pertumbuhan penduduk 1,12% pertahun, prasyarat pencapaian visi Indonesia 2030 adalah dukungan birokrasi yang efektif (Jawa Pos, 17 Mei 2007). Realitasnya, hari ini kita masih menduduki peringkat ke-7 negara terkorup di dunia dan peringkat ke-2 di Asia. Kita juga berpengalaman dengan ambruknya perekonomian pada tahun 1997 karena rapuhnya fondasi ekonomi akibat kanker korupsi, kolusi dan nepotisme yang merajalela. Belum lagi pulih seratus persen dari terpaan krisis ekonomi, kita dikejutkan dengan prediksi krisis moneter jilid II (Republika, 11 Mei 2007). Selain berbekal semangat, tentu harus ada langkah-langkah cerdas untuk mewujudkan mimpi Indonesia 2030 tersebut.

Era Cyberspace dan Akuntabilitas Publik


Sejak diciptakan pertama kali oleh Departemen Pertahanan (DoD) Amerika Serikat pada tahun 60-an, internet mengalami perkembangan yang sangat pesat. Keberadaannya memunculkan dunia maya (cyberspace), yaitu sebuah ruang terbuka tidak nyata yang bersifat egaliter dimana setiap orang memiliki hak, akses dan kesempatan yang sama terhadap kehidupan di dalamnya. Bentuk-bentuk aktivitas yang bisa dilakukan melalui internet berkembang termasuk dengan hadirnya electronic government (e-gov).
Topscot (1996) menjelaskan e-gov sebagai internetworked gevernment yang menggantikan industrial age government. E-government menurut Millar (2000) merupakan aplikasi prinsip-prinsip e-business terhadap proses pemerintahan. Uni Eropa sebagai kumpulan bangsa yang telah berhasil menerapkannya, mendefinisikan e-government bukan hanya sekedar sebagai penggunaan teknologi informasi, melainkan juga merupakan kombinasi perubahan organisasi dan ketrampilan baru dalam rangka memperbaiki pelayanan publik dan proses demokrasi untuk mendukung kebijakan publik.

Belajar dari Mereka


Wajah-wajah mereka masih tampak lugu dan agak kekanakan. Songkok hitamnyapun dikenakan agak miring. Senyum mereka juga masih alami. Tapi tahukah kita bahwa prestasi mereka adalah level dunia. Sekali lagi tingkat dunia. Bukan level kabupaten atau RT. Empat medali emas mereka persembahkan untuk negeri ini yang mengukuhkan Indonesia sebagai juara pertama Olimpiade Fisika Internasional XXXVII di Singapura. Sebuah capaian tertinggi atas prestasi penguasaan ilmu fisika yang pesertanya siswa terpandai dari seluruh penjuru dunia. Dari negara miskin sampai kaya. Dari negara maju sampai negara yang hampir gagal. Indonesia ternyata mampu eksis. Kalau kemarin kita kecewa Timnas kita tidak bisa merasakan rumput Stadion Piala dunia di Jerman, berita tentang keberhasilan para siswa SMU ini tentu membanggakan kita dan mengangkat harkat kita sebagai bangsa Indonesia.
Prestasi ini diraih oleh putra-putra bangsa yang terlahir di sini pula. Hukum kewarganegaraan kita yang baru menyebut mereka sebagai putra Indonesia asli. Hal yang mungkin tidak dinikmati oleh orang tua mereka yang diantaranya adalah suku Tionghoa tersebut. Dan mengherankannya merekapun tumbuh dan berprestasi di tengah mutu pendidikan kita yang masih harus terus diperbaiki alias amburadul. Kita berharap nantinya mereka mau terus berprestasi untuk negeri ini dan tidak tergoda untuk hengkang ke luar negeri, karena biasanya di negeri ini yang berkualitas dan unggul akhirnya tidak dipakai. Hanya nasionalisme mereka yang kita harapkan.