Senin, 26 Juli 2010

Kisah dari Dunia Karpet


Hidayatullah.com Monday, 26 July 2010 10:21 JALAN-JALAN
Karpet adalah seiris produk budaya yang masih tersisa. Kaum Muslim memilikinya sebagai ”tempat terhormat” untuk ibadah

HARI itu aku menurunkan gulungan karpet dari container. Membuka serta menatanya serapi mungkin di lantai pameran. Karpet dan rug (permadani) dari Iran, India, Afrika utara, Afghanistan, Pakistan, Turkmenistan, Azerbaijan, Kashmir dan Turki dengan berbagai ukuran, motif, corak, kehalusan dan harga kami hampar bertumpuk-tumpuk. Beberapa lainnya ditempel atau dijajarkan di dinding untuk memperindah tampilan pameran yang digelar rutin di Canberra setiap empat bulan ini.

Liburan semester kali ini aku gunakan untuk mengumpulkan dollar dengan bekerja di sebuah pameran karpet. Bekerja di Albert Hall kali ini benar-benar kerja casual dalam sebuah sistem yang sangat efisien, menggunakan time check log bahkan untuk sekedar istirahat 15 menit.

Maklum, sebagai kapitalis modern, penjual karpet yang telah berkeliling Australia sejak 1952 ini rupanya tidak mau rugi dengan kelebihan menggaji 10 orang, termasuk kami para mahasiswa ini.

Selain motif-motif baru atau motif modern, motif lama yang direpro ulang turut memperkaya motif-motif karpet yang ada saat ini. Karpet dan permadani buatan tangan dengan berbagai kehalusan dan keindahan corak tersebut terbuat dari wol atau sutera dan berharga mulai ratusan sampai puluhan ribu dollar.

Yang termahal dibanderol 45.000 atau setara dengan harga 45 mobil bekas atau dua mobil sport baru di Australia.

Tapi apa yang bisa diceritakan dari sepotong karpet selain permadani terbang dalam kisah “Negeri 1001 Malam?”