Minggu, 06 Januari 2008

Mengembalikan Mindset Pemeriksa BPK-RI


Peralihan dari era otoriter ke era demokrasi selalu menyisakan banyak Pekerjaan Rumah. Era kebebasan pers sebagai anak kandung demokrasi telah mendorong transparansi bak terbitnya cahaya mentari di pagi hari. Perlahan namun pasti, terkuaklah banyak penyimpangan yang dilakukan oleh para pengelola negara, khususnya dalam hal keuangan. Kasus-kasus korupsi oleh aparat pengelola negara yang terekspose menjadi obyek tatapan mata penuh amarah rakyat pemilik negeri ini.
Di negara yang terlalu lama menjalankan kleptokrasi, kerja aparat pemeriksa keuangan negara biasanya terlanjur tidak efektif. Aparat pemeriksa telah “dibonsai” dengan berbagai cara dan akhirnya tunduk kepada penguasa. Tak heran banyak penyimpangan pengelolaan keuangan negara bisa lolos begitu saja. BPK era Orde Baru sadar atau tidak telah terseret lingkaran siklus penjarahan keuangan negara secara sistemik. Untuk memutusnya perlu terobosan solusi yang sistemik pula.

Reformasi Keuangan Negara RI
Memang terasa lambat reformasi sistem keuangan negara kita, mengingat lembaga legislatif awal reformasi sebagai produsen Undang-Undang selalu disibukkan dengan pertarungan perebutan kekuasaan. Reformasi Keuangan Negara mulai bergerak sejak ditetapkannya UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara. Ketiganya sebagai suatu paket telah memberi landasan yang kokoh bagi sistem dan pemeriksaan pengelolaan keuangan negara. UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK telah ikut andil besar dalam mendorong pembersihan pengelolaan keuangan negara.
Dalam pasal 23G UUD 1945 ayat (2) disebutkan; ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Kauangan diatur dengan Undang-Undang. UU tentang BPK yang ada hari ini (UU No.5 tahun 1973) masih beraroma Orde Baru dan sudah tidak memadai lagi dengan adanya perkembangan formasi ketatanegaraan yang baru. Rancangan Undang-Undang tentang BPK-RI untuk memperbaruinya harus segera dibahas DPR agar mendorong terwujudnya BPK-RI sebagai garda depan pendeteksi korupsi dan membangun keteraturan sistem. Sudah saatnya konstruks baru sistem keuangan negara ini integral secara pranata hukum agar tidak terdapat lubang-lubang aturan yang bisa dimanfaatkan oleh oknum-oknum Jaringan Koruptor Pemerintah.
Pembentukan landasan sistem kelembagaan yang baik akan mencegah tindak pidana korupsi di pemerintahan tanpa bergantung pada figur pemimpin terpilih. Sehingga siapapun pemimpinnya (eksekutif, legislatif) tidak akan berpengaruh terhadap langkah-langkah pendeteksian dan pemberantasan korupsi. Dengan UU BPK (UU No.5 tahun 1973) saat ini terdapat resiko ketika presiden terpilih suatu saat tidak mendukung pemberantasan korupsi maka ia bisa membatasi pemeriksaan BPK dengan cara melakukan kontrol atas organisasi, karyawan, dan anggaran BPK. Pengendalian atas BPK juga dapat dilakukan melalui pembatasan objek pemeriksaan maupun kontrol atas metode serta isi laporan pemeriksaannya.
Dari BEPEKA ke BPK-RI
Akronim BEPEKA yang selama ini lekat dengan lembaga pemeriksa era Orde Baru terasa tidak memiliki gigi karena kewenangannya dikebiri oleh penguasa otoriter saat itu. BEPEKA masa lalu terbatas lingkup pemeriksaannya dan praktis tidak mempunyai akses pemeriksaan terhadap pos-pos penting keuangan negara. Sampai hari ini pos penerimaan negara sektor pajak (70% penerimaan negara) sulit tersentuh pemeriksaan BPK oleh karena Undang-Undang Pajak sangat membatasi. Hal ini diperparah dengan ketergantungan BEPEKA dalam hal anggaran pemeriksaan kepada pemerintah. Tidak ditindaklanjutinya secara serius temuan-temuan BEPEKA selama bertahun-tahun oleh pemerintah semakin menyadarkan kita akan pentingnya pengembalian kewenangan BPK-RI sebagai Lembaga Negara.
Undang-Undang tentang BPK-RI dalam konstruks baru paket Undang-Undang tentang Keuangan Negara haruslah segera dibahas jika memang DPR-RI memiliki visi perubahan (baca: Reformasi). UU tentang BPK-RI sama krusialnya dengan UU tentang Kebebasan Mengakses Informasi Publik serta UU Perlindungan Saksi dan Korban dalam konteks pemberantasan korupsi secara sistemik. Supremasi aturan yang bergigi dan integral ini harus segera terbentuk yang diikuti dengan pemberian fasilitas dan prasarana yang memadai untuk memastikan berfungsinya kewenangan besar yang dimiliki oleh BPK-RI.
Sebagai otorita pemeriksa pengelolaan keuangan negara, BPK-RI seharusnya bisa menegakkan empat fungsi: Pertama, sebagai pusat regulator pengelolaan dan pemeriksaan keuangan negara. Kedua, fungsi BPK untuk melaporkan indikasi kriminal hasil pemeriksaannya kepada pihak penegak hukum: Kepolisian, Kejaksaan maupun KPK untuk diusut selanjutnya. Ketiga, BPK menjadi hakim bagi pelanggaran administratif dan menetapkan besarnya denda pengganti kerugian negara. Dan fungsi yang keempat BPK menjadi penasehat bagi auditee untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas serta memperbaiki kebijakan maupun kinerjanya.
Urgensi RUU BPK-RI
Beberapa isu krusial yang seharusnya masuk dalam UU tentang BPK-RI sebagai langkah revitalisasi adalah kemandirian (independensi) BPK-RI dalam hal:
· Anggaran; usulan anggaran yang mencukupi sesuai kebutuhan untuk mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang BPK-RI yang usulannya dibahas dengan DPR-RI dalam pembicaraan pendahuluan siklus pembahasan APBN dan hasilnya menjadi bahan pemerintah untuk menetapkannya.
· Legislasi; berwenang menetapkan peraturan BPK-RI sebagai pelaksana tugas yang mempunyai kekuatan hukum mengikat kepada pihak lain. Juga penyelesaian pengenaan ganti rugi negara/daerah dan perusahaan negara/daerah.
· Pemeriksaan; berwenang menentukan obyek, waktu, lokasi, metode, perencanaan, pelaksanaan dan penyajian hasil laporan pemeriksaan.
· Kelembagaan; yang mengatur tentang jumlah, pemilihan, syarat, masa kerja, larangan dan pemberhentian bagi keanggotaan BPK-RI.
· Organisasi; pembentukan organisasi dan tata kerja pelaksana BPK-RI serta pembentukan perwakilan di setiap ibukota propinsi.
· Kepegawaian; pembinaan terhadap Pemeriksa Keuangan Negara sebagai jabatan fungsional yang mencakup: rekruitmen, kualifikasi, jenjang jabatan, diklat, fasilitas, tunjangan, penghargaan dan juga terutama sanksi yang tegas.
Secara spesifik, kewenangan BPK-RI yang mendesak untuk dimiliki adalah hak untuk melakukan pemeriksaan Keuangan Negara dari sisi penerimaan (Pajak, Bea Cukai) yang selama ini sulit disentuh. Upaya pelaksanaan pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu dengan kemampuan untuk merespon pengaduan masyarakat harus segera dapat direalisasikan oleh BPK-RI sebagai upaya mempercepat pemberantasan korupsi. Dalam RUU tentang BPK-RI, auditor memiliki kewajiban-kewajiban dengan sanksi pidana yang tegas misalnya kewajiban untuk melaporkan hasil pemeriksaan yang mengandung unsur tindak pidana korupsi kepada aparat penegak hukum.
Jika membaca draft RUU BPK-RI terdapat beberapa hal yang kurang sejalan dengan upaya revitalisasi BPK-RI yang perlu dikritisi. Misalnya, belum dimasukkannya semacam “Pengawas Independen” BPK-RI yang bisa mengontrol perilaku maupun penyelewengan yang dilakukan oleh pemeriksa maupun anggota BPK-RI. Dicantumkannya umur maksimal pemeriksa sampai 62 tahun juga tidak sejalan dengan upaya penyegaran (percepatan regenerasi) di tubuh BPK-RI sebagai upaya perbaikan kultur organisasi. Tidak diaturnya komposisi anggota BPK-RI dari jalur karir memunculkan resiko terpilihnya mereka dari kalangan politisi (meski bukan pengurus parpol) yang awam atas tugas pemeriksaan dan rawan atas dilakukannya intervensi terhadap pemeriksa di lapangan karena alasan politis.
Akhirnya seluruh kekuatan masyarakat madani (civil society) diharapkan turut mendorong revitalisasi BPK-RI ini dengan turut mengkritisi draft RUU BPK-RI dan berperan secara aktif dalam mendorong pembahasannya di DPR-RI. Kredit poin berupa semakin berkualitasnya hasil temuan pemeriksaan BPK-RI beberapa tahun terakhir harus menjadi momentum bagi diberikannya landasan yang kokoh berupa Undang-Undang BPK-RI yang baru untuk membangun kepercayaan diri segenap komponen BPK-RI sebagai sebuah Lembaga Negara. Jika upaya revitalisasi UU tentang BPK-RI sebagai usaha pengembalian mindset pemeriksa BPK-RI secara sistemik ini sukses, maka upaya pemberantasan korupsi di negeri ini akan segera menemukan momentumnya. Wallahu a’lam bissawab.



Nico Andrianto, SE, Ak.
Auditor pada Perwakilan BPK-RI di Palangkaraya.
Opini merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili pendapat institusi BPK-RI.

Dimuat: Radar Banjarmasin
Jumat, 25 Agustus 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar