Kamis, 27 Desember 2007

Laptop Tukul Arwana dan Pembelanjaan Uang Daerah


Tukul Arwana (sering mengakui wajahnya pas-pasan) dengan laptopnya semakin populer saja hari-hari ini. Ungkapan: ”kembali ke lap....top !” yang menjadi trade mark lawakannya menancap kuat di benak banyak orang Indonesia. Dari tukang becak, pegawai negeri sampai dosen banyak mengucapkannya sebagai bahan candaan. Bahkan para anggota DPR beberapa waktu yang lalu sempat heboh dengan ungkapan ”kembali ke laptop” ini, ketika BURT DPR-RI menganggarkan pembelian laptop anggota DPR dengan harga 21 juta per buah. Setelah disoroti oleh masyarakat akhirnya rencana pembelian laptop itu dibatalkan.

Ada dua masalah yang mengemuka dengan adanya kasus laptop tersebut. Pertama, layak tidaknya anggota DPR (dengan pendapatan sangat besar dari berbagai macam tunjangan) dibelikan laptop oleh negara, di tengah masih sulitnya ekonomi serta banyaknya rakyat miskin dan kelaparan. Namun hal itu merupakan domain politik yang masih bisa diperdebatkan. Yang kedua adalah harga laptop yang dianggarkan sebesar 21 juta rupiah, padahal di pasaran dengan spesifikasi yang ”wajar-wajar” saja tentu tidak mungkin semahal itu.
Kalau saja tidak dihebohkan oleh media masa, tentu masalah mahalnya harga pembelian laptop itu tidak akan pernah terungkap ke permukaan. Praktik pembelian laptop ”berharga 21 juta” adalah hal yang dianggap wajar-wajar saja. Sebagaimana pembelian personal computer (PC) yang 200% sampai 300% dari harga pasarnya adalah praktik lumrah selama ini, tidak terkecuali di pemerintah daerah. Untuk pos-pos belanja barang dan jasa lainnya, ”pemborosan” atau ”kerugian daerah” ini bisa berupa kurangnya volume, mutu barang dan jasa yang amat rendah serta keterlambatan selain masalah mark up harga diatas misalnya pada pembangunan jalan, jembatan, pembelian ATK, dll.
Komponen Harga Belanja Pemerintah Daerah
Sebelum membedah penyebab kemahalan belanja yang sering dilakukan oleh pemerintah daerah selama ini, kita harus memahami karakteristik, lingkungan pengendalian dan kultur yang ada di pemerintahan. Pertama, di pemerintahan daerah semua tindakan harus didasarkan pada aturan formal, yaitu Undang-Undang di atasnya, Peraturan Daerah, Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota, dan juga standar serta aturan yang berlaku lainnya. Kedua, kultur di pemerintahan daerah kita masih belum banyak bergeser dari mindset ”menghabiskan anggaran” seperti yang berlaku di sistem anggaran daerah yang lama. Ketiga, kurang efektifnya pola pengawasan internal (melekat) di pemerintahan daerah kita.
Kalau ditelusur balik alurnya, pelaksanaan APBD yang telah disahkan oleh DPRD, pelaksanaannya dijabarkan dalam penjabaran APBD yang kemudian dibagi lagi ke dalam DPA-SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah). Penyusunan DPA-SKPD ini mengacu pada standar Harga Satuan Barang/Jasa (HSBJ) yang biasanya disahkan melalui keputusan Gubernur/Bupati/Walikota pada setiap semester. Masalahnya bermula kala standar HSBJ ini tidak mencerminkan harga yang sewajarnya. Yang sering terjadi adalah standar HSBJ ini jauh terlalu tinggi diatas harga pasar wajar sampai 200%-300% untuk barang-barang tertentu seperti laptop diatas. Dalam beberapa kasus HSBJ ini tidak lengkap meliputi seluruh item kebutuhan pemerintah daerah, misalnya barang-barang teknis tertentu, sehingga memberi peluang penggelembungan harga tak terkontrol.
Akhirnya, dengan pola pikir pegawai pemerintah kita yang masih cenderung ”menghabiskan anggaran”, maka kuitansi/faktur pembelian bisa saja dibuat seharga 200%-300% harga pasar wajar. Tentu saja ini sangat memboroskan keuangan daerah, yang masih banyak bergantung pada dana perimbangan (DAU dan DAK) dari pemerintah pusat. Dana yang sudah terbatas masih harus dibebani kebocoran, yang menurut Prof. Sumitro sebesar kira-kira 30% sebelum benar-benar dinikmati masyarakat.
Yang sering dijadikan dalih oknum pemerintah adalah bahwa kemahalan pembelian karena harus disertai dengan pajak-pajak (PPN 10% dan PPh psl 22 sebesar 1,5% dari harga jual barang) yang harus disetor ke Kas Negara. Selain itu juga harus ada keuntungan untuk penjual/penyedia barang dan jasa pemerintah. Padahal, sebenarnya harga pasar yang disodorkan oleh penjual tentu sudah mencakup pajak-pajak serta keuntungan tersebut. Tanpa perlu diajari, penjual tentu sudah memikirkan keuntungan dan pajak-pajak yang harus dibayar meski tidak menjual barangnya ke pemerintah. Pemerintah daerah sebagai lembaga formal hanya berkewajiban memungut dan menyetorkan ke Kas Negara. Berarti penyusunan standar harga yang sampai dua atau tiga kali lipat harga pasar wajarnya adalah sebuah kesalahan.
Dalih lainnya adalah dimasukkannya dalam komponen standar harga antisipasi kenaikan harga barang (inflasi) yang menurut Dirjen Anggaran Depkeu, selama ini ditoleransi sampai sebesar 5% (Kompas, 28 Februari 2007). Hal ini memang bisa dimaklumi untuk tujuan penganggaran, namun bukan kewajiban untuk merealisasikannya. Yang harus direalisasikan adalah pembelian barang dengan harga pasar wajar, memungut pajak-pajaknya untuk disetor ke kas negara dan mengembalikan sisa uang pembelian ke Kas Daerah. Dalam sistem akuntansi pemerintahan yang berbasis kinerja sekarang, penghematan atas dana publik masuk dalam Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) yang bisa digunakan untuk keperluan lain pembiayaan pemerintah daerah dalam perubahan APBD di pertengahan tahun.
Selain itu harus dipertimbangkan pembelian barang dan jasa dalam jumlah besar seperti yang dilakukan oleh pemerintah seharusnya bisa dengan harga diskon. Hal itupun juga sudah umum terjadi di dunia bisnis yang kompetitif dan wajar. Lain masalahnya kalau pengadaan barang dan jasa dilakukan secara tertutup dan dimaksudkan untuk mengeruk keuntungan pribadi atau orang lain secara tidak sah.
Di dunia akuntansi dikenal konsep yang berbunyi “substance over the form”. Artinya bahwa kebenaran substansial mengungguli kebenaran formal. Bisa saja bukti faktur pembelian laptop pemerintah berharga 200%-300% daripada harga wajar di pasaran, namun kebenaran substansinya tentu ditolak oleh akal sehat dan mungkin akan ditemukan oleh pemeriksa keuangan daerah.
Strategi Pengefisienan Belanja Pemerintah Daerah
Penetapan harga standar yang wajar sesuai realitas harga pasar adalah sangat krusial bagi efisiensi pembelanjaan uang daerah. Dari banyak fakta di lapangan, kita belum bisa mengharapkan pelaksana pemerintahan berlaku jujur dengan membelanjakan dana publik secara efektif, efisien dan ekonomis dan mengembalikan sisanya sebenarnya ke kas Daerah. Karena itu perlu dievaluasi secara ketat serta lengkap untuk dapat menetapkan HSBJ yang mencerminkan harga pasar wajar, dan tidak semata-mata menerima saja masukan informasi harga dari berbagai unit kerja (Dinas) yang sebenarnya juga merupakan pengguna anggaran.
Tender pengadaan barang dan jasa secara terbuka dan kompetitif adalah kata kunci berikutnya. Kalau rata-rata kebocoran 30% di sisi pembelanjaan pemerintah daerah bisa dikurangi maka banyak hal yang bisa dilakukan. Angka 30% dari 1 trilyun rupiah berarti 300 milyar. Sebuah nominal yang sangat besar yang belum tentu bisa didapat dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kitapun tahu masih banyak permasalahan di daerah ini misalnya kurangnya fasilitas pendidikan, infrastruktur dan kemiskinan diatas. Adalah sangat menggelikan jika ditonton oleh masyarakat banyak perolehan barang dan jasa pemerintah daerah dengan harga perolehan 200%-300% harga pasar wajarnya, meski dengan bukti transaksi ”otentik”.
Selayaknya para pemimpin daerah (Pemerintah Daerah maupun DPRD) tidak mengambil porsi kelucuan si Tukul Arwana yang berwajah pas-pasan itu. Karena komedian seperti dia harus merintis ”karirnya” dari bawah yang lebih sering akrab dengan kesengsaraan hidup sebelum akhirnya menjadi selebritis berpendapatan besar dan dekat artis-artis cantik dengan trade mark-nya; ”kembaliiii ke lap....top!” sekarang ini. Wallahu a’lam bissawab.



Nico Andrianto, SE, Ak.
Auditor pada perwakilan BPK RI di Palangka Raya.
(Tulisan merupakan opini pribadi)


Dimuat: Palangka Post
Senin, 2 April 2007 dan Selasa, 3 April 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar