Selasa, 19 Februari 2008

BPK PASCA ERA SOEHARTO



Selama 32 tahun membangun kekuasaannya, Soeharto menciptakan sistem yang menempatkan dirinya sebagai pusat kuasa. Dengan menghimpun segenap kekuatan ”kosmik” yang ada, semua organ negara, baik yang konstitusional maupun yang bersifat civil society, tunduk kepada personal presiden kedua ini. Kekuatan-kekuatan partai politik, birokrasi, militer, organisasi massa, lembaga negara, tak terkecuali BPK era Orde Baru berada di bawah hegemoninya. Di satu sisi, Soeharto membentuk BPKP yang difasilitasi secara maksimal, sambil di sisi lain membuat “kerdil” BPK sebagai pemilik kekuasaan konstitusional yang sesungguhnya.
Pertanyaannya kemudian, setelah sepuluh tahun reformasi, apakah BPK telah benar-benar memperoleh kembali posisi konstitusionalnya sebagai lembaga negara yang independen. Apa batu sandungan bagi upaya mewujudkan supreme audit institution yang tangguh.

Revitalisasi BPK-RI
Anwar Nasution dalam beberapa kesempatan secara lugas mengkritik posisi BPK era Orba sebagai lembaga yang tidak independen, dengan mengatakan, ”di masa lalu objek pemeriksaan BPK, cara ataupun metoda pemeriksaannya serta laporan auditnya terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan dari Sekretariat Negara sebelum disampaikan kepada lembaga perwakilan Rakyat, MPR dan DPR, maupun kepada penegak hukum. Hampir seluruh laporan audit BPK dianggap merupakan rahasia negara sehingga tidak boleh dipublikasikan secara luas kepada masyarakat”.
Melalui amandemen keempat UUD 1945, posisi konstitusional BPK dipertegas dengan kalimat: ”Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab tentang keuangan negara, diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri”. BPK dikukuhkan kembali menjadi lembaga negara independen yang sejajar dengan lembaga negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, dan MPR. Kemudian, tiga paket UU Keuangan Negara dalam kurun 2003-2004 menguatkan posisi BPK di level yang lebih operasional. UU No 15 Tahun 2006 tentang BPK memberi legitimasi yang semakin konkret tentang kedudukan BPK ini.
Sejak revitalisasi digulirkan, telah banyak kemajuan yang dicapai BPK. Saat ini telah terdapat kantor perwakilan di 28 provinsi dari sebelumnya 4 buah di akhir masa Orde Baru. Rencana strategis telah ditetapkan hampir bersamaan dengan dibuatnya Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, Kode Etik Pemeriksa BPK, dan pembentukan Majelis Kode Etik beranggotakan kalangan akdemis untuk mengawasi implementasinya yang belum pernah ada sebelumnya. Laporan keuangan BPK diperiksa oleh KAP independen dan kinerjanya oleh BPK dari negara lain yang tergabung dalam INTOSAI. Pemberian remunerasi diharapkan bisa menjaga independensi, integritas dan profesionalisme auditor BPK dari godaan para pihak yang diaudit.
Rencana BPK untuk bergeser dari fokus pemeriksaan keuangan kepada pemeriksaan kinerja dan audit tematik yang ditetapkan oleh para petinggi lembaga negara ini memberi harapan perbaikan mutu pemeriksaannya. Seluruh hasil pemeriksaan yang telah diberikan kepada lembaga perwakilan (DPR, DPD dan DPRD) kini dipublikasikan melalui website resmi BPK untuk mewujudkan good e-government kepada seluruh stakeholder.
Beberapa tahun terakhir BPK banyak memberikan ”kejutan positif” berupa temuan besar seperti ribuan ”rekening liar” pemerintah pusat dan daerah senilai trilyunan rupiah dari dana non bujeter, ketidaktransparanan biaya perkara di MA, uang pengganti di Kejaksaan Agung, mahalnya cost recovery eksploitasi migas dan yang paling mutakhir dugaan aliran dana BI kepada para anggota DPR dalam rangka diseminasi pembuatan UU BI dan upaya meredam kasus BLBI yang merupakan kejahatan keuangan terorganisir terbesar dalam sejarah republik kita.
Temuan-temuan diatas dipastikan tidak akan bisa diungkap di masa lalu karena besarnya tekanan kepada lembaga pemeriksa keuangan negara ini oleh lembaga negara lain. Tiga tahun berturut-turut BPK memberikan opini disclaimer terhadap Laporan Keungan Pemerintah Pusat, sebagaimana pula sedikit sekali pemerintah daerah yang mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian. Dengan posisinya yang semakin independen, BPK mampu memberikan laporan pemeriksaan yang semakin berkualitas sesuai fakta yang sesungguhnya.
Dari segi uang negara yang berhasil diselamatkan, audit PNBP pada tahun 2006 telah meningkatkan penerimaan negara sebesar Rp24,51 Trilyun dan 0,75 juta dollar. Penertiban 2.260 rekening pribadi yang menyimpan uang negara telah mengembalikan Rp11,54 trilyun ke kas negara. Sedangkan penghematan subsidi BBM dan pupuk dari hasil audit khusus sebesar Rp7,1 trilyun.
Kasus dugaan tindak pidana korupsi yang dilaporkan oleh BPK kepada penegak hukum meningkat setiap tahun dari 10 kasus senilai Rp2,8 trilyun dan 39,1 juta dollar pada tahun 2005, 13 kasus senilai Rp887,8 milyar dan 114 juta dollar pada tahun 2006 dan 14 kasus senilai Rp3,4 trilyun dan 295 juta dollar pada tahun 2007.
Pekerjaan rumah
Di tengah kemajuan menggembirakan yang dicapai BPK, terdapat beberapa pekerjaan rumah negara ini dalam upaya mewujudkan audit institution yang independen. Sebagai lembaga negara yang telah berumur 61 tahun, ternyata BPK belum mempunyai akses untuk memeriksa penerimaan negara dari sektor perpajakan yang merupakan 70% penerimaan. Pemeriksaan terhadap dugaan penyimpangan perpajakan seperti kasus Asian Agri terkendala aturan harus mengantongi ijin Menteri Keuangan.
Judicial review atas UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang menghambat kerja BPK harus dilihat dalam kerangka pengembalian kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh BPK. Tidak selayaknya Undang-Undang Dasar dikalahkan oleh UU ataupun peraturan menteri. Sebab, dalam kasus pemeriksaan penerimaan pajak ini, sistem self assesment yang tanpa pemeriksaan oleh pemeriksa eksternal, seolah memberikan lisensi kepada para pembayar pajak dan para fiscus untuk melakukan penyimpangan. Hal ini dikuatkan dengan fakta rendahnya tax ratio penerimaan pajak di negara kita di kisaran 13,5% PDB sejak negara kita lepas dari kolonial Belanda.
Sudah bukan jamannya lagi para pembayar pajak dijadikan sapi perahan pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan atas lemahnya sistem. Harus dikembangkan check and balance antar lembaga negara untuk memastikan tidak terjadi malpraktek keuangan negara. Kejatuhan Soeharto yang penyebabnya adalah krisis ekonomi akibat penyimpangan keuangan negara seharusnya memberi pelajaran berharga kepada kita sebagai bangsa. Pengembalian kewenangan BPK termasuk untuk memeriksa penerimaan pajak adalah salah satu upaya kita mengoreksi kesalahan sejarah Soeharto yang berakhir dengan kejatuhannya sepuluh tahun yang lalu. Wallohu a’lam bissawab.

Dimuat di situs Duaberita, 15 Februari 2008, 08:39 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar