Kamis, 13 Maret 2008

Auditor di Jaman ”Kalabendu”


Dalam orasi budaya saat pengukuhannya meraih gelar Doktor Honoris Causa di UGM, WS. Rendra mengatakan bahwa tanda-tandanya kita sedang berada di zaman ”Kalatida” dan ”Kalabendu” (Republika, 5 Maret 2008). Merujuk pada ”terawang” pujangga abad 19 Ronggowarsito, ”Kalatida” ialah zaman edan, dimana akal sehat diremehkan dan ”Kalabendu” zaman dimana tata nilai dan tata kebenaran dijungkirbalikkan secara merata. Dalam bahasa Ronggowarsito, di jaman ini banyak orang berlomba melakukan kegilaan, karena ”kalau tidak ikut gila, tidak mendapat bagian”.

Seolah mendukung desertasi ”si burung merak” diatas, menurut ICW, pada tahun 2007 lalu terdapat 3 orang Gubernur, 41 orang Bupati dan 5 Walikota terlibat korupsi. Sementara pada periode sebelumnya, sampai dengan Maret 2006 dalam catatan Mendagri terdapat tidak kurang 1.100 pejabat pemerintah terlibat/diperiksa dalam kasus korupsi, yaitu 7 orang Gubernur, 60 orang Bupati/Walikota, 8 orang kepala Daerah, 327 orang anggota DPRD Provinsi dan 735 orang anggota DPRD Kabupaten/Kota. Statusnya beragam dari proses penyidikan, penyelidikan dan penuntutan maupun yang sudah divonis bersalah.
Kenyataan diatas sangat kontras dengan fakta seorang ibu di Makasar yang sedang hamil tujuh bulan meninggal dunia bersama jabang bayi dan anak ketiganya, akibat kelaparan beberapa waktu lalu. Kisah sedih inipun masih panjang, seperti; seorang ibu di Malang bunuh diri bersama tiga anaknya tahun lalu karena masalah ekonomi; seorang ayah di Jakarta menggendong jenazah anaknya dari rumah sakit naik angkot karena tidak punya biaya; seorang Ibu membawa anaknya untuk berobat ke rumah sakit dan ditolak oleh enam rumah sakit sebelum sampai di rumah sakit yang mau merawatnya; anak SD bunuh diri karena tidak sanggup membayar uang sekolah, anak-anak di NTT mengalami gizi buruk, serta sejumlah KK di Brebes makan nasi aking karena tak mampu membeli beras.
Sungguh sebuah ironi, kejadian luar biasa ini terjadi di negeri yang terkenal subur dan pada saat berlangsungnya Otonomi Daerah. Pilihan Otoda di tingkat Kabupaten/Kota telah memberikan perimbangan alokasi keuangan kepada daerah agar bisa mensejahterakan rakyatnya secara luas, karena asumsinya daerahlah yang paling tahu permasalahannya sendiri. Namun ternyata banyak program pemerintah tidak memperhatikan aspek perencanaan yang matang berbasis data yang akurat, dan disinyalir banyak pelaksanaannya tidak berjalan secara efektif yang disebabkan mentalitas aparat dan banyaknya kebocoran anggaran akibat korupsi.
Meluasnya busung korupsi (pejabat) dan busung lapar (rakyat) menyadarkan kita tentang apa yang sebenarnya terjadi. Otoda dengan pemilihan kepala daerah secara langsung saat ini yang diharapkan bisa menjadi obat penyembuh ternyata tidak serta-merta seampuh yang diharapkan. Banyak prasyarat yang dibutuhkan demi efektifnya pelaksanaan Otoda, termasuk pengawasan oleh aparat internal (Inspektorat Jenderal Departemen/Provinsi/Kabupaten/Kota) dan pemeriksaan oleh auditor independen pemerintah (BPK-RI).
Menemukan yang tersirat dari yang tersurat
Dalam bukunya, Corruption and Government; Causes, Consequences, and Reform, Susan Rose-Ackerman membagi tipe-tipe korupsi di pemerintahan ke dalam; Kleptocracy, Bilateral Monopolies dan Mafia-Dominated States serta Competitive Bribary. Singkatnya, terdapat banyak tipe kanker korupsi dan untuk membongkarnya diperlukan kemampuan lebih. Seorang auditor dituntut bisa melihat kenyataan praktik sistem keuangan daerah yang sesungguhnya, daripada sekedar melihat dokumen-dokumen pendukung. Sense untuk mengendus fakta dibalik angka-angka dibutuhkan untuk memastikan uang daerah digunakan secara ekonomis, efisien dan efektif, yang di dunia akuntansi dikenal konsep substance over the form.
Untuk menggelorakan anti korupsi di daerah, sebagai supreme audit board, BPK-RI mengembangkan pendekatan-pendekatan baru untuk meningkatkan kapabilitasnya. Beberapa langkah maju yang dilakukan BPK diantaranya adalah merekrut auditor berlatarbelakang non-akuntansi seperti Teknik Sipil, Kehutanan, Pertanian, Teknik Lingkungan, Ilmu Ekonomi, dll untuk mendukung audit non-keuangan dalam rangka memastikan pembangunan berkelanjutan. Rekruitmen seperti ini penting untuk mengejar aspek-aspek non-keuangan seperti kualitas bangunan yang dihasilkan dari kegiatan pengadaan infrastruktur ataupun aspek-aspek kerusakan lingkungan akibat eksploitasi alam yang buruk.
Seperti diketahui, BPK telah mulai melakukan audit lingkungan misalnya menghitung kerugian negara akibat semburan lumpur Lapindo maupun kebakaran hutan dan lahan. Pada masa mendatang, seperti dikatakan oleh Anwar Nasution dalam sebuah kesempatan, BPK akan memanfaatkan foto satelit untuk memantau batas antar wilayah untuk mengatasi konflik antar daerah dalam pembagian pajak atas eksploitasi SDA maupun untuk memantau kerusakan kekayaan negara berupa hutan akibat pembalakan liar serta kebakaran.
Menghentikan kegilaan
Masih menurut Ronggowarsito, zaman gila sekarang ini akan melahirkan zaman ”Kalasuba” atau zaman kestabilan dan kemakmuran, jika manusia (masyarakat dan pemerintah) bisa sadar dan waspada tidak meneruskan permainan gila. Zaman ”Kalasuba” akan datang dengan munculnya Ratu Adil. Ratu adil zaman sekarang menurut WS. Rendra bisa dimanivestasikan oleh hukum yang adil dan mandiri serta sistem yang berjalan baik, termasuk sistem pemeriksaan keuangan negara/daerah. Negara ini membutuhkan sistem pengawasan, pemeriksaan, dan penegakan hukum yang berkesadaran, tak terkecuali para auditor keuangan negaranya.
Tertangkapnya koordinator jaksa penyelidik kasus BLBI oleh KPK karena dugaan menerima suap USD600 ribu (sekitar 6 milyar rupiah) semoga menjadi peringatan kepada kita semua. Kejadian tersebut diharapkan memberi kesadaran bahwa sekian rupiah uang suap pada akhirnya akan merugikan keuangan negara/daerah beratus kali lipat. Dalam kasus penegakan hukum BLBI, uang 6 milyar rupiah tersebut berpotensi menghilangkan puluhan trilyun rupiah kerugian negara akibat putusan hukum yang pro koruptor. Jumlah tersebut tentulah sangat besar jika digunakan untuk membiayai keperluan rakyat, ditengah semakin melambungnya harga-harga kebutuhan pokok saat ini. Dalam rangkaian syairnya, Ronggowarsito pernah mengatakan, “seberuntung-beruntungnya orang yang ikut gila, masih beruntung orang yang selalu sadar dan waspada”. Wallohu a’lam bissawab.


Nico Andrianto SE., Ak.
Auditor pada Perwakilan BPK-RI di Palangkaraya.
Tulisan merupakan pendapat pribadi.
Dimuat di Dayak Pos, Senin, 17 Maret 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar