Rabu, 22 Oktober 2008

Pemilu 2009 dan Agenda Perang Antikorupsi


Sebagaimana Sun Tzu menginspirasi banyak kalangan bisnis, upaya pemberantasan korupsi sering dimetaforakan dengan pertarungan hard power. Para NGO antikorupsi memperkenalkan istilah ”perang melawan korupsi” untuk mendeskripsikan upaya sungguh-sungguh, sistematis, dilengkapi dengan perangkat dan strategi dalam upaya mengeliminasi tindakan korupsi.
Beberapa pihak menjadi subyek dan lainnya obyek dalam perang antikorupsi ini. Kesemuanya berada dalam pusaran dinamika kenegaraan lengkap dengan pergulatan wacana dan aspek politisnya melalui berbagai lembaga seperti KPK, BPK RI, Presiden, BPKP, Kejaksaan, Kepolisian, DPR, PPATK, MK dan segenap kekuatan masyarakat madani, baik dengan kontribusi positif maupun negatif.
Hasil sementara pertempuran antikorupsi menunjukkan peringkat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) negara kita tahun 2008 seperti dirilis TII mengalami kenaikan 0,3 dari skor 2,3 (2007) menjadi 2,6 (2008) yang sekaligus mendudukkan Indonesia pada peringkat 126 dari 180 negara yang disurvei.

Perang asimetri
Peperangan antikorupsi yang tengah berkecamuk sesungguhnya sebuah perang asimetri, dimana kuantitas ”pasukan musuh” yaitu para koruptor begitu masif. Kita telah "terinvasi" oleh para koruptor, ditunjukkan dari fenomena meluasnya kebocoran anggaran pemerintah, rendahnya penerimaan pajak dan cukai, sampai ”penjarahan” kekayaan alam (batubara, logam mulia, minyak bumi) secara terang-terangan.
Para ”penjajah” selama ini sangat menikmati posisi superioritasnya dalam berbagai kasus korupsi, karena meluasnya fenomena korupsi atas hasil korupsi. Dengan dukungan logistik yang hampir tak terbatas, para koruptor berhasil membuat sistem hukum meleleh.
Dengan realitas seperti itu, maka peperangan antikorupsi saat ini sangatlah kumpleks, berbeda dengan model peperangan klasik yang menuntut keunggulan pilihan formasi pasukan”garuda melayang”, ”supit udang”, atau ”perang parit”. Untuk memperoleh kemenangan, dalam peperangan multifront sekarang ini diperlukan kemampuan intelijen, dukungan personel, alutsista dan logistik, serta keunggulan strategi dan doktrin perang yang handal.
Kantong-kantong perlindungan para koruptor diantaranya adalah tingginya harga standar barang dan jasa diatas harga pasar, keputusan politik DPR/D, dan lemahnya lembaga penegakan hukum. Saat ini, para koruptor mengambil posisi bertahan, dengan menyandera pembahasan dan pengesahan RUU Pengadilan Tipikor sebagai konsekuensi dari putusan Mahkamah Konstitusi atas judicial review UU tentang KPK.
Berita dari front depan
Beberapa waktu lalu, lagi-lagi KPK berhasil menangkap tangan anggota KPPU yang menambah panjang daftar penerima suap yaitu anggota DPR, KY, dan jaksa kasus BLBI. KPK yang baru dibentuk beberapa tahun telah menjelma menjadi pasukan para komando dengan kemampuan perang nonkonvensional yang sanggup menusuk jauh ke belakang garis pertahanan lawan untuk memberi efek deteren.
Dalam kasus dugaan suap pengalihan lahan di Pulau Bintan yang melibatkan beberapa anggota DPR, KPK berhasil menjebol ”benteng” pertahanan terkuat para koruptor, dengan menggeledah gedung parlemen di Senayan. Terakhir, KPK juga diikutsertakan dalam pembahasan RAPBN untuk mencegah perilaku korupsi mulai dari penyusunan anggaran.
KPK memiliki kemampuan ”propaganda” melalui berbagai media cetak, elektronik maupun multimedia. KPK memunculkan wacana pemberian seragam khusus bagi tersangka koruptor yang diharapkan menimbulkan efek jera. Selain itu, KPK memiliki kemampuan ”penggalangan” dengan merekrut ”agen-agen” serta membuka saluran pengaduan masyarakat yang selalu dibanjiri dengan informasi dari berbagai pihak.
KPK diperlengkapi dengan seperangkat ”alutsista” ampuh berupa payung hukum kewenangan menangkap, menyadap pembicaraan telepon terduga koruptor, mengakses data dan informasi perbankan, perpajakan, dan aturan tidak boleh menghentikan penyelidikan (SP3). Dalam kasus di Bea dan Cukai, unsur pendadakan kehadiran KPK cukup mengejutkan, sehingga membuat kalang kabut para punggawa korup hingga menyembunyikan uang suap di dalam kaus kaki.
Dengan tidak mengikuti ukuran personel militer umum, ”grup” KPK fleksibel dalam menjalankan misinya. Dengan luasnya fenomena korupsi, perlu pemekaran pasukan KPK ini menjadi beberapa ”grup” untuk memperluas cakupan operasi, namun dengan tetap menjaga superioritas sebagai ”pasukan elit”.
Sementara itu, peran BPK RI juga semakin strategis dalam perang antikorupsi. Kelebihan lembaga ini adalah kedudukan hukumnya yang sangat kuat dalam konstitusi negara. Meski tidak dirancang menjadi pasukan para komando, BPK ibarat pasukan pemukul yang sangat menentukan hasil akhir sebuah peperangan. Penggelaran pasukan telah dilakukan dengan membuka ”markas” di setiap ibukota Provinsi yang dibagi menjadi armada barat dan timur. Postur kekuatan penuhnya setingkat 33 Divisi dengan didukung kemampuan ”penguasaan teritorial” yang baik.
Beberapa tahun terakhir BPK menemukan ribuan rekening liar pemerintah pusat dan daerah bernilai puluhan trilyun rupiah. Daftarnya masih panjang dengan adanya pengungkapan kasus BLBI, biaya perkara di MA, Dana Perimbangan, Cost recovery pertambangan minyak, penyimpangan di berbagai daerah yang seakan menjadi pelengkap atas opini audit yang kebanyakan disclaimer dan tidak wajar. Arah lembaga ini kedepan yang lebih fokus pada audit kinerja dan dengan tujuan tertentu, akan semakin mempertajam perannya dalam peperangan antikorupsi.
Memilih Panglima Perang
Dalam setiap peperangan, kehadiran seorang panglima yang mampu mengendalikan serta memberi inspirasi segenap pasukan agar bersedia bertempur habis-habisan sangatlah krusial. Jika melihat posisi strategisnya, seorang Presiden adalah panglima tertinggi dalam perang melawan korupsi. Yang diperlukan bangsa kita adalah Presiden yang bisa mengatakan, ”anda bersama kami atau bersama para koruptor”. Diperlukan keteladanan seorang panglima, yang berani menyediakan seribu peti mati untuk para koruptor dan satu untuk dirinya jika terbukti korupsi.
Sebagai seorang panglima, presiden diharapkan bisa memilih doktrin perangnya Muhammad SAW, Clausevits atau Sun Tzu, sekaligus menentukan penggunaan strategi ”lompatan kataknya” Douglas Mc Artur, ”pertahanan rakyat semesta”-nya Jenderal Sudirman, ”desa mengepung kota”-nya Mao Zedong atau blitskrieg-nya Jerman untuk menggempur para koruptor. Sebagai pemegang komando tertinggi pemerintahan, seharusnya presiden mampu mengkonsolidasikan dan mensinergiskan segenap kekuatan antikorupsi di berbagai lembaga negara termasuk organisasi masyarakat sipil.
Presiden memegang penuh komando ”pasukan” BPKP, Inspektorat Departemen/Provinsi/Kabupaten/Kota di seluruh wilayah negara. Kelebihan ”pasukan” pengawasan internal tersebut ibarat Batalion Infanteri yang tersebar sehingga mampu menjangkau luasnya wilayah. Yang harus dilakukan adalah memperkuat ”doktrin perang” agar mereka tidak mudah ”desersi” dari peperangan antikorupsi karena terlalu loyal kepada atasan langsung. Presiden juga harus membenahi secara serius ”pasukan” penegakan hukum yang dia komandoi seperti Kejaksaan dan Kepolisian untuk mempertahankan "benteng" integritas pemerintahan.
Juga, seorang Presiden harus piawai mengelola soft power negara untuk mengurangi korupsi. Diperlukan terobosan-terobosan seperti pendidikan antikorupsi, memperbaiki sistem remunerasi, memanfaatkan teknologi informasi, serta mengefisienkan biaya demokrasi agar mengurangi dorongan para pihak untuk korupsi.
Sebagai hasil dari proses demokrasi, presiden terpilih sebenarnya merupakan perwujudan dari suara rakyat. Dengan kata lain, siapa yang akan menjadi panglima perang antikorupsi di era demokrasi sesungguhnya rakyat yang menentukan. Sebagai penentu, cara taktis yang bisa kita tempuh untuk mendorong pemberantasan korupsi adalah melalui bilik suara tahun 2009 dengan tidak memilih presiden/politisi/partai yang korup atau toleran terhadap korupsi. Karena politisi/partai semacam itu hanya akan menghasilkan peraturan yang pro koruptor dengan mengorbankan rakyatnya sendiri. Wallohu a’lam bisawab.


Nico Andrianto, SE., Ak.
Peneliti pada The Economic Reform Institute (Ecorist)


Dimuat di situs Duaberita, Rabu, 22 Oktober 2008, 23:33

Tidak ada komentar:

Posting Komentar