Sabtu, 29 Agustus 2009

Menjadi Pemimpin Politik

Banyak hal menarik pada peluncuran buku Alfan Alfian (22-07-2009) yang judulnya menjadi judul artikel ini. Acara yang diadakan di Universitas Paramadina itu berbobot karena banyak filosof, kalangan bisnis, pengamat, peminat masalah kepemimpinan, calon dan tentu saja para praktisi politik hadir memberikan kata sambutan, juga pertanyaan-pertanyaan dari perspektif masing-masing. Pembedah buku Anies Baswedan dan Anas Urbaningrum tentu saja menambah bobot intelektual acara tersebut.

Dalam buku setebal 388 halaman tersebut perasan devinisi, mitos, paradigma, bentuk dan moral politik disajikan secara amat menarik ke dalam lima puluh bahasan terkait politik, yang membentang secara ensiklopedis mulai dari kharisma pemimpin sampai mitos politik, dari hasrat memimpin sampai tanggung jawab kepemimpinan, serta dari visi kepemimpinan sampai strategi untuk meraihnya. Deretan tokoh yang ditampilkan mulai dari dari Sun Tzu sampai Machiaveli, dari Nixon sampai Obama, dari Gorbachev sampai Putin, dari Soekarno sampai Benazir Bhuto dan masih banyak lainnya.

Muncul pertanyaan klasik apakah pemimpin itu dilahirkan atau diciptakan? Di Amerika sebelum terpilihnya Obama, politik dijalankan dengan pendekatan profesi, dimana banyak orang menekuninya melalui jenjang yang panjang sebelum meraih puncak kepemimpinan. Dalam konteks ini maka kepemimpinan diciptakan oleh sebuah sistem. Sedangkan para pemimpin kita pada masa lalu secara otodidak memiliki daya imajinasi yang jauh melampaui jamannya, seperti ide tentang “jembatan emas” kemerdekaan pada saat kondisi buta huruf dan kebodohan rakyat yang hampir absolut, kemiskinan yang merata, serta segala prasyarat optimisme yang hampir nol. Seorang pemimpin seperti Soekarno memiliki sifat kepemimpinan “solidarity maker” otentik serta mampu mentransfer semangatnya tersebut menjadi keinginan kolektif seluruh bangsa yang sangat majemuk segi etnis, agama, budaya dan geografis.


Yang belum banyak diteliti oleh para ahli sejarah adalah bagaimana kerasnya reaksi yang diterima oleh para pemuda yang pada tahun 1928 menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Tentu saja tidak mudah untuk meyakinkan para tokoh di daerahnya masing-masing, karena munculnya kekhawatiran akan tamatnya riwayat bahasa-bahasa lokal dengan hadirnya bahasa nasional. Yang telah diakui oleh para sejarawan adalah pemakaian Bahasa Indonesia sebagai sebuah keputusan yang sangat maju, karena bahkan negara-negara seperti Uni Eropa sampai saat ini belum bisa mewujudkannya. Sehingga menjadi kendala besar mereka misalnya untuk membentuk organisasi ketentaraan, dimana dalam tataran praktis jika yang menjadi komandan adalah orang Jerman, sementara pasukannya orang Prancis maka akan muncul kendala serius dalam pemberian perintah.

Kita patut bersyukur dengan pencapaian kemajuan politik di Indonesia, karena kalau dibandingkan dengan negara seperti Malaysia dan Singapura, kita seperti melihat era Jurassic Park. Di kedua negara tersebut bahkan masalah etnis masih menjadi persoalan besar. Sementara dalam perpolitikan Filiphina sangat terkenal istilah the-“Genk, Gun, and Gold”, yang membuat masyarakat luas khawatir akan mobil dan anak mereka pada saat pemilu menjelang. Mobil beresiko dicuri dan digunakan untuk sarana kampanye, sementara anak-anak rentan menjadi target penculikan yang uang tebusannya akan digunakan untuk biayanya.

Lebih lanjut, dalam konteks Indonesia thesis islam kompatibel dengan sistem demokrasi menurut pembedah buku adalah tidak tepat, karena Indonesia adalah negara berasaskan Pancasila. Indonesia telah lama menerapkan konsep multikultur, dimana Islam yang ada bersifat lumer karena sinkretis dengan berbagai pemikiran serta menyerap kearifan lokal. Enam kali pelaksanaan elektoral sistem di era Soeharto turut membiasakan rakyat untuk menuju bilik suara setiap lima tahun. Yang dikhawatirkan Barat sebenarnya lebih pada resiko kekuatan politik berbasis agama akan memanfaatkan demokrasi untuk merebut kekuasaan dan kemudian menggantinya dengan sistem lain. Sementara pertanyaan yang lebih substansial adalah, bagaimana sistem demokrasi bisa men-deliver kebaikan untuk rakyat melebihi yang ditawarkan oleh sistem lain.

Regenerasi Kepemimpinan
Regenerasi kepemimpinan secara damai menjadi kebutuhan yang mutlak dalam sistem demokrasi. Sementara para politisi tua cenderung berpola-pikir ke masa lalu, pemimpin muda bicara tentang mimpi-mimpi masa depan. Orang muda yang telah selesai dengan eksistensi dirinya sendiri, dan mampu memberikan ide kreatif tentang masa depan dengan cara yang memesona memiliki potensi menjadi pemimpin masa depan. Maka, dalam konteks Pemilu Indonesia 2009 yang lalu, kita seolah menghabiskan stok lama para pemimpin kita agar pada putaran politik berikutnya muncul pemimpin muda yang memiliki gagasan segar. Wajah baru para politisi kita (lebih kurang 65%) hasil pemilu 2009, memberi harapan akan gelontoran pembersihan terhadap budaya buruk di gedung parlemen.

Sumber pen-suplay kepemimpinan kita saat ini diantaranya adalah tentara, birokrasi, cerdik cendikia dan tentu saja para saudagar yang merepresentasikan empat elemen sumber kekuasaan yaitu basis masa, intelektualitas, uang, serta jaringan. Untuk mengisi kekosongan stok kepemimpinan di masa mendatang, diperlukan migrasi politik dari sumber-sumber potensial kepemimpinan lainnya seperti berbagai kalangan profesi. Dengan digulirkannya Pilkada sejak tahun 2005, terdapat optimisme bahwa di sekitar tahun 2012 akan mulai muncul para pemimpin dari daerah yang berhasil, untuk naik kelas memimpian negara.

Tantangan Kepemimpinan
Moral politik kita serasa sirna ditengah semakin kapitalisnya sistem rekruitmen kepemimpinan. Hal ini tentu jauh dari ideal politik Plato dimana seharusnya pemimpin disandang oleh mereka yang memiliki kualitas filosof dan bukan semata karena kepemilikan uang. Akibatnya, banyak pemimpin kita hari ini yang berlaku seolah-olah memimpin, padahal hakikatnya hanya minta dilayani dengan berbagai fasilitas. Hal ini juga jauh dari moral politik dalam perspektif islam dimana pemimpin harus memiliki sifat siddiq, amanah (jujur), fathonah (cerdas) serta tabliq (menginspirasi).

Dalam sistem demokrasi liberal saat ini faktor uang menjadi hal yang sangat krusial, namun juga mengandung jebakan. Mahalnya biaya demokrasi liberal kita bisa menyebabkan tindakan tidak senonoh yaitu perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha demi kepentingan pribadi. Di Amerika, yang sistem politiknya telah bisa mengalahkan kuasa uang, menurut pembedah buku memungkinkan siapa saja bahkan yang tidak punya banyak uang untuk menjadi seorang pemimpin.

Disamping beberapa kemajuan, banyak hal dalam sistem politik kita masih jalan di tempat, khususnya dalam hal budaya politik. Nampaknya para pemimpin kita belum bisa lepas dari budaya politik menghapus peran lawan politik. Setelah sepuluh tahun masuk dalam alam demokrasi, pemimpin kita belum juga mulai berfikir tentang sinergisitas. Dalam konteks kini, ide-ide untung rugi khas saudagar seperti konversi dari pemakaian minyak ke gas mampu menghemat banyak uang negara, sebagian besar rakyat kita adalah petani dan nelayan yang memerlukan subsidi seperti di negara-negara yang lantang menyaurakan pasar bebas, juga bukankah bagus ide tentang bagaimana cara merdeka dari hutang asing.

Lepas dari tarikan-tarikan kepentingan politik kelompok, ide dan imajinasi adalah hal yang sangat bernilai. Seharusnya pemimpin terpilih tidak enggan untuk mengambil ide-ide yang baik meski berasal dari lawan politik sekalipun. Bukankah dalam peribahasa dikatakan, telur ayam meskipun keluar dari tempat yang kotor sangatlah bermanfaat. Wallohu a’lam bissawab.

Nico Andrianto

Peneliti pada The Economic Reform Institute





1 komentar:

  1. ulasan yang menarik... jadi di Indoensia sudah sangat siap ya bila presidennya bukan dari jawa (atau mungkin keturunan Ken Dedes? hehehhe...)

    Untuk regenerasi pemimpin, menurut saya perlu juga adanya kerelaan generasi pertama untuk memberi kesempatan kepada generasi kedua, kedua kpd ketiga dan seterusnya, artinya regeneasi tersebut berjalan teratur tanpa lompatan-lompatan yang menghilangkan aspek kesejarahan, sehingga kebijakan-kebijakan pemimpin yang diganti (kebijakan/program kerja yang baik) akan tetap secara simultan dilanjutkan, bukan "pemimpin baru, orang baru, program baru, kebijakan baru, bahkan mobil/fasilitas baru).

    lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi kader (bukan hanya partai) juga diberi kebebasan untuk mencetak calon-calon pemimpin masa depan, dan yang perlu saya tambahkan lagi adalah bahwa Soft Competence calon pemimpin sama pentingnya dengan hard ompetencenya, sehingga pemimpin tidak hanya ahli dalam hal memimpin tapi juga berakhlak.

    Terima kasih

    BalasHapus