Selasa, 09 Maret 2010

Cleaner


Di suatu siang, saya sholat dhuhur di basement sebuah gedung perkantoran elit di bilangan Kuningan, Jakarta. Tak dinyana, sang imam sholat adalah seorang cleaner yang sering saya jumpai membersihkan ruangan-ruangan di gedung tersebut. Dengan tampilan pakaian seragam yang bersahaja namun penuh fungsi, sang cleaner dengan tanda hitam bekas sujud di dahinya memimpin ritual sembahyang para pekerja dari berbagai negara yang mungkin beberapa diantaranya adalah bos di perusahaan-perusahaan multinasional yang berkantor di gedung berlantai tiga puluh dua tersebut.
Alangkah indahnya agama ini yang memberikan persamaan derajat di hadapan Sang Pencipta. Bahwa dihadapan Sang Khaliq, tak ada pembedaan tingkatan profesi atau penderajatan lainnya yang diciptakan manusia. Namun, saya menangkap kesan yang tak bisa ditutupi bahwa seorang cleaner yang berkutat membersihkan barang-barang kotor tersebut, ternyata mempunyai religiusitas lebih tinggi dibanding para pekerja berdasi, meski hal tersebut bisa jadi sebuah generalisasi yang ceroboh. Yang jelas, dalam sholat seorang yang datang lebih dulu akan mendapatkan shaf di depan, sementara saat itu banyak para karyawan berdasi yang hadir dan mengisi barisan-barisan belakang.

Dalam perspektif yang agak berbeda, kenyataan tersebut seolah membenarkan sebuah Hadis nabi, “Kebersihan sebagian dari iman”. Tentu kalimat Hadis tersebut bukan hanya berdimensi arti kebersihan fisik, namun juga kebersihan hati, pikiran dan ucapan serta tindakan. Dalam artian kebersihan fisik, seorang cleaner harus memiliki kualitas tingkat kesabaran yang tinggi, karena harus membersihkan barang-barang yang kotor yang seringkali juga bau, seperti wastafel dan bahkan WC. Selain itu, seorang cleaner juga harus jujur, karena selalu terkait dengan barang-barang berharga di suatu kantor.
Seorang cleaner, paling tidak karena rutinitas pekerjaan yang dijalaninya akan mengetahui berbagai hal, misalnya pada hari apa biasanya banyak sekali sampah. Dia mengetahui kebiasaan seorang karyawan dari apa saja yang dikonsumsinya setiap hari. Ada karyawan yang jorok, ada karyawan yang ajeg mengkonsumsi makanan/minuman tertentu. Bahkan juga seorang cleaner bisa tahu berapa karyawan yang sering tugas luar atau bolos kerja dari sampah yang harus dipungut dari tempat sampah di setiap meja kerja.
Jangan salah, kadang-kadang seorang cleaner memiliki sedikit otoritas dan akhirnya derajad lebih tinggi, tepatnya ketika barang sudah berada di dalam tempat sampah. Sering kali si cleaner menemukan mouse komputer, koran baru, buku agenda kosong, atau barang-barang kecil “berharga” lainnya yang sudah dibuang oleh sang pemiliknya. Kalau sudah berada di dalam bak sampah, maka barang-barang tersebut sudah tentu sah jika diambil dan kemudian dibawah kendali penuh si cleaner. Sedangkan orang lain yang juga ingin memilikinya, jelas sangat tergantung pada kebaikan hati sang cleaner.
Banyak nilai filosofi yang bisa kita serap dengan menghayati peran seorang cleaner. Sebagai orang yang sejak masa kank-kanak sering membantu tugas orang tua menyapu lantai dan halaman rumah, mengepel, serta mencuci piring, saya banyak menarik pelajaran dari aktivitas tersebut. Pertama, jangan memaksakan menyapu halaman rumah kalau angin sedang besar, karena hanya akan membuahkan kesia-siaan. Tunggu sampai angin reda, baru kita bisa membersihkannya dengan sempurna. Kedua, bersihkan lantai dengan sapu atau alat pel yang bersih. Membersihkan lantai dengan alat yang kotor juga merupakan sebuah kemubadziran yang nyata. Ketiga, bersihkan piring dari pinggir menuju ke tengah, atau bersihkan alat rumah tangga yang mudah, baru yang tersulit diakhir pekerjaan. Keempat, dalam lingkungan modern, seorang cleaner juga harus tahu dari mana dia mulai meng-vacum karpet lantai untuk menghindari terjadinya kabel terikat-ikat meja kursi dikarenakan jalur pembersihan yang “salah”.
Tentu saja filosofi cleaner bisa kita terapkan pada bidang kehidupan lainnya, termasuk pekerjaan kita sehari-hari. Keempat filosofi diatas misalnya, bisa diterapkan pada pekerjaan semacam pemberantasan korupsi atau audit keuangan negara. Saya jadi teringat dengan wejangan senior di kampus dulu, dimana dia bilang: “kalau ingin mengetahui kualitas manajamen suatu kantor/instansi maka lihatlah toiletnya”. Kalau bau dan kotor, maka bisa dipastikan manajemen kantor tersebut juga amburadul. Mengurusi hal sepele saja nggak beres, apalagi menyelesaikan hal-hal yang besar. Jangan-jangan banyak terjadi korupsi, karena anggaran untuk pengelolaan kebersihan toilet saja tidak dibelanjakan sebagaimana mestinya.
Dalam sebuah kesempatan, mantan ketua BPK di instansi tempat saya berkarya mengatakan: “Desinfektan paling tangguh itu sinar Matahari, maka keterbukaan itu penting”, untuk memberi metafora betapa pentingnya transparansi publik pengelolaan keuangan negara kita. Tentu orang bisa menafsirkan dari pernyataan tersebut bahwa sinar Matahari yang mengandung ultraviolet itu mampu membunuh baksil-baksil yang menyebabkan berbagai penyakit. Sedangkan bila orang menafsirkannya lebih lanjut, baksil-baksil adalah para koruptor, itu sepenuhnya hak mereka.
Dalam sebuah lagunya yang terkenal di era Orba, sang maestro Iwan Fals menorehkan bait-bait tentang tukang sapu sebagai berikut:
Tukang sapu bawa sapu masuk di kantor
Bersihkan yang kotor
Cukong kotor mandor koruptor semua yang kotor
Awas kena sensor
---@@---
Untuk menghidupi diri dan keluarga saat ini jujur saya bekerja sebagai cleaner, sebuah pekerjaan sambilan terfavorit bagi para mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan lanjutan di Australia. Sambil bercanda teman-teman sesama pembersih ruangan ini mengaku dengan bangga sebagai anggota ICMI. Bukan sebutan untuk organisasi para intelektual yang terkenal itu, melainkan singkatan dari “ikatan cleaner muda Indonesia”. Ya, sekarang saya adalah seorang cleaner dan berusaha menghayati peran itu dengan baik. Kalau bisa seperti sang cleaner yang memimpin sholat di sebuah gedung elit di Jakarta tadi.

Canberra, 09 - Maret - 2010
Dimuat di Kompasiana

1 komentar:

  1. Membersihkan suatu temp[at dari kotoran dengan lap pel atau sapu yang kotor itu seperti para koruptor yang bersedekah dengan hasil korupsinya. Bukan begitu Bung Nico ?
    Joko

    BalasHapus