Kamis, 25 Maret 2010

Nikmatnya Ikut Jumatan di ANU


Dalam kondisi minoritas, muslimin di Australia benar-benar melupakan segala perbedaan mazhab dan urusan “kecil” lainnya

Hidayatullah.com--Lantunan adzan Jumat kali ini pendek-pendek bernuansa Tiongkok, sedikit berat namun lembut penuh penjiwaan. Abdul, seorang keturunan Xinjiang yang melantunkannya, begitu menghayati peran barunya. Hari itu ia menggantikan tugas muazin yang kebetulan telah menyelesaikan pendidikannya dan pulang ke Indonesia.

Biasanya, mahasiswa undergraduate itu, sebagaimana mahasiswa lainnya secara sukarela ikut membantu menyiapkan tempat sholat, seperti membentangkan karpet dan tikar atau mempersiapkan kursi dan meja untuk khotib.


Ya, setiap Jumat kami mahasiswa dari berbagai negara harus menyulap gedung olah raga (Gymnasium) di kampus Australian National University, Canberra, menjadi sebuah masjid. Setidaknya untuk beberapa jam.

Saya selalu merinding merasakan kebersamaan sholat Jumat di kampus ANU ini. Meski ritual sholat Jumat di tanah air selalu mengalirkan perasaan tenteram, namun hidup sebagai minoritas di Negeri Kanguru kali ini memberikan ekstase yang jauh lebih kuat. Betapa tidak, Jumatan di ANU adalah miniatur dunia muslim yang saya temui.

Saya berjumpa dengan saudara-saudara sekeyakinan tauhid dari berbagai penjuru dunia di Jumatan di salah satu universitas terbaik di Australia in. Saya temui senyuman dan perasaan tenteram wajah-wajah dari Asia Tengah-Rusia, Bosnia, Pakistan, India, Bangladesh, Afghanistan, Turki, Philipina, Iran, Iraq, Arab, Indonesia, Malaysia, China, Afrika, dan tentu saja wajah bule Australia. Jumatan di ANU adalah melting pot bagi representasi segenap mazhab, budaya, dan tentu saja kebiasaan-kebiasaan.

Khotib Indo-Arab

Seperti Jumat kali ini, sang khotib dan imam yang berwajah Indo-Arab menyampaikan khutbahnya dengan tampilan yang khas Barat. Dengan mengenakan jeans, topi, dan sepatu cats, tak menghalanginya untuk menyampaikan kebenaran ayat-ayat Al-Quran dan Hadits dalam bahasa Arab dan kemudian Inggris yang fasih. Tampilan kami para jamaah dari berbagai bangsa dengan “pakaian takwa” masing-masing, tak kalah ragamnya, seolah memperkaya kebersamaan ini.

Para khotib yang memberikan ceramah biasanya bergantian dari berbagai asal negara. Ada dari Indonesia, seorang senior yang telah menjadi warga negara Australia. Ada pula yang berasal dari anak benua India, Arab, dan tentu saja dari “Australia asli”. Tema-tema seperti ukhuwah islamiah, cara hidup muslim di dunia Barat, keunggulan Islam sebagai jalan hidup, sampai tema-tema mutakhir lainnya menjadi semakin terasa maknanya. Dalam kondisi minoritas, kami benar-benar melupakan segala perbedaan mazhab dan urusan “kecil” lainnya.

Pada suatu hari selesai sholat Jumat, seseorang yang berasal dari Timur Tengah maju ke depan dan diberi kesempatan oleh imam untuk memberikan pengumuman. Rupanya ia yang akan pulang ke negaranya bermaksud menghibahkan mobilnya untuk para jamaah yang membutuhkan, dengan syarat digunakan untuk jalan kebaikan.

Jumatan secara tidak langsung juga menjadi ajang bagi silaturahmi dan tukar informasi bagi kami, dari urusan tempat tinggal, pekerjaan sambilan, sekolah atau penitipan anak, sampai acara-acara pengajian dan keluarga yang akan dilaksanakan. Biasanya setelah Jumatan, kami ngobrol dan berbincang santai sebelum melanjutkan aktivitas masing-masing.

Di suatu kesempatan, seorang Indonesia menjual makanan khas Indonesia (siomay dan bakso) di samping tempat Jumatan berlangsung, yang diserbu bukan hanya oleh orang Indonesia, tetapi juga oleh orang Turki yang pekerjaannya jualan Kebab. Rupanya mereka ingin mencoba Indonesian cuisine. Bagi orang kita makanan Indonesia adalah salah satu obat kangen tanah air, itulah mengapa acara yang diselenggarakan di KBRI yang selalu menyediakan makanan Indonesia biasanya ramai. Salah satunya adalah acara Maulid Nabi beberapa waktu lalu.

Asli Jepara

Di ibukota Australia yang berpenduduk sekitar 350 ribu orang ini, muslim adalah minoritas yang berkembang. Di tengah-tengah masyarakat Barat yang agnostic, atheis dan tentu saja kaum Kristen, muslim hadir dengan upaya-upaya yang gigih untuk menjaga keislamannya.

Hal ini ditandai misalnya dengan adanya toko daging atau makanan halal. Terdapat pula perkumpulan masyarakat Indonesia yang mengadakan khataman, dengan pembagian Juz Al Quran yang harus dibaca melalui mailing list. Mengenai urusan penanda waktu sholat, muslim menyiasati keterbatasan dan larangan seruan azan secara terbuka dengan meng-install software azan dari internet di HP/laptop mereka.

Canberra Mosque di Yarralumla
Terdapat satu masjid di kota administratif hasil jalan tengah persaingan antara Melbourne dan Sydney untuk menjadi ibukota ini, yaitu di daerah Yarralumla, sekitar tujuh kilometer dari kampus ANU.

Masjid yang berada di kompleks kedutaan tersebut dibangun atas kerjasama Kedutaan besar Indonesia dan Mesir, serta dukungan segenap kaum muslim yang ada di Canberra. Tak heran, mimbar untuk khotbah adalah ukiran Jepara asli.

Satu lagi Islamic center sedang dibangun di daerah Tuggeranong. Selain karena kebutuhan kaum muslim akan tempat ibadah, pembangunan Canberra Islamic Center ini akan mendorong berkembangnya wilayah tersebut.

Islamic School of Canberra sebagai sekolah berprestasi juga telah lama hadir di kota tempat Parliament House dan Perdana Menteri Australia berkantor ini. Karena kota yang dirancang dengan sangat bagus ini (termasuk terbaik di dunia) telah “mengundang” kaum muslim dari berbagai penjuru dunia, baik sebagai mahasiswa, diplomat, pekerja kantor maupun para imigran, seperti orang tua Abdul sang muadzin tadi.

Semoga sekelumit cerita jumatan dari Canberra ini memberi inspirasi kita di Tanah Air akan pentingnya kebersamaan dan ukkuwah islamiyah. [kiriman Nico Andrianto, Mahasiswa Master of Policy and Governance Program, Crawford School of Economics and Government, Australian National University (ANU), Canberra, Australia]

Dimuat di: Hidayatullah.com, Thursday, 25 March 2010 12:54

Tidak ada komentar:

Posting Komentar