Selasa, 30 November 2010

Radio Australia

Tanggal 22 November yang lalu adalah hari bersejarah bagiku. Jika sebelumnya hanya bisa mendekati perwakilan Radio Australia di Canberra maupun Sydney, juga outlet ABC yang menjual macam-macam DVD, buku dan souvenir, hari itu aku “berhasil” mengunjungi kantor pusatnya di Southbank dekat sungai Yarra, Melbourne. Maklumlah, event itu telah aku nantikan lebih dari dua puluh tahun lamanya. Karena, jauh sebelum aku punya anak, menikah, bekerja, atau kuliah, saat SMP sampai SMA dulu tiap pagi dan sore aku mendengarkan siaran Radio Australia bahasa Indonesia. Aktivitas itu aku lakukan sambil menunaikan tugas menyapu lantai atau mencuci piring rumah, di Blitar.
Siang itu aku bertemu dengan para penyiar legendaris favoritku yang segera menyergapku dengan keramah-tamahan. Aku temui suara penuh wibawa Hidayat Djajamiharja. Kujumpai flamboyannya Oska Leon Setiyana. Kudengar secara life, suara mantab Juni Tampi yang selama ini hanya bisa aku dengarkan melalui acara warta berita. Eny Wibowo tampil seperti dalam bayanganku selama ini. Sayang, penyiar gaek lainnya seperti Edy Tando dan Istas Pratomo yang nyentrik sudah pensiun. Aku adalah pendengar Radio Australia pasca periode Ebet Kadarusman (alm), generasi ayahku. Beberapa penyiar generasi baru tak kalah ramah dan humble-nya. Sedangkan Dian Islamiati Fatwa, sangat memahami kebahagianku hari itu yang dengan telaten memperkenalkan kehadiranku dan menunjukkan berbagai fasilitas siaran yang ada.

Obrolan yang tercipta siang itu, tak terasa menarik ingatanku saat masih “muda” dulu. Sederet rangkaian acara aku nikmati dari naik turun suara radio gelombang pendek tua kakekku. Tak rugi rasanya telah susah-payah kupasang enam meter antena kabel tembaga membentang diatas genting, atas petunjuk dari brosur yang kuterima bersama stiker dan kalender yang bergambar para penyiar dan kota Melbourne.

Namun hari itu tak kutemui penyiar pujaanku. Ya, Nuim Khayyat, pembawa acara multitalenta sedang berlayar sampai akhir tahun ini. Dahulu, dia berhasil menjejalkan berbagai pengetahuan ke benakku serta melebarkan wawasanku. Pak Cik Nuim, biasa membawakan dengan kualitas yang “sama” acara Samba “Sabtu Gembira”, Perspektif; tinjauan segi-segi kejadian dunia, lensa olah raga, ilmu pengetahuan, warta berita, muda-mudi, dan mengenal Australia. Jalan Masjid, Gang Bengkok di kota Medan, lagu dan syair Melayu seakan masih terngiang di telingaku sampai hari ini. Pernah kutanyakan tentang Gang Bengkok itu ketika sedang tugas kantor ke Medan, tapi tidak kutemui.

Aku merasa mendapatkan “tiket” untuk ke Radio Australia melalui beasiswa pemerintah Australia untuk jenjang pendidikan Master di ANU Canberra. Dalam rekaman wawancara yang secara spontan dilakukan kemudian, jujur kukatakan bahwa keinginan mengunjungi kantor Radio Australia di Melbourne adalah motivasi yang mendorongku mencoba beberapa kali beasiswa ADS sampai berhasil. Akhirnya bukan hanya beramah-tamah dan melihat-lihat gedung serta fasilitas Radio corong pemerintah Australia itu, bahkan aku dijadikan nara sumber siaran. Serasa mimpi saja.
Bagaimanapun, Australia adalah sebuah paradoks bagi Indonesia. Tetangga dekat, namun bisa juga jauh. Hanya berjarak laut Arafura, Australia memiliki budaya dan cara berfikir yang jauh berbeda. Masyarakatnya kebanyakan terdiri dari dan berorientasi Eropa, meski menjadi multikultur dalam beberapa dekade terakhir. Hubungan dengan Indonesia juga naik dan turun, sebagaimana layaknya seorang tetangga. Kisah sejarah yang pernah kudengar dari Radio Australia mulai dari penolakan buruh pelabuhan Sydney mengangkut barang untuk kapal Belanda di awal kemerdekaan dulu, sampai berbagai kerumitan dalam peran Australia terkait Timor Timur.

Radio Australia adalah jendela bagi alternatif sumber berita saat Indonesia masih dibawah rejim otoriter waktu itu. Hal itu pula yang kusampaikan saat secara mendadak dimintai pendapat oleh pembesar media penyiaran pemerintah Australia ini, Mike McCluskey. Sekalian kukatakan kepadanya bahwa jam siarannya seharusnya ditambah, bukannya dikurangi. Sebab banyak yang menarik manfaat dari siarannya di Indonesia. Bukan hanya pelajaran Bahasa Inggris yang sangat berguna, tapi juga wawasan internasional serta cara untuk memahami Australia secara budaya, sosial dan politik sebagai tetangga. Syukur-syukur kita bisa mengambil banyak sistem pemerintahan yang baik dari negeri maju ini. Tak heran di tahun 1997-an banyak pendengar yang mengirim surat protes, termasuk alm. ayahku, saat pemerintah Australia berencana mengurangi jam siaran Seksi Indonesia.

Meski mungkin di Indoinesia sekarang pers telah bebas, namun dengan gaya khasnya Radio Australia masih dinanti banyak pendengar setianya. Bagaimanapun, perspektif Australia juga memiliki nilai tersendiri sebagai pembanding. Akhirnya, Radio Australia dikombinasikan dengan beasiswa-beasiswa pendidikan tinggi yang diberikan adalah seperangkat instrumen kebijakan publik untuk mendekatkan dua negara yang memang banyak memiliki perbedaan, selain juga persamaan (multikultur).

Dengan fasilitas life streaming saat ini, siaran RASI (Radio Australia Seksi Indonesia) semakin mudah diakses. Kontennya juga semakin beragam dan menarik. Kekuatannya ada pada akses terhadap berbagai pihak-pihak terkait sebagai sumber informasi, kekhasan yang harus terus dijaga, dan membedakannya dari BBC London, Radio Nederland, atau VoA. Juga, regenerasi penyiar yang berhasil adalah vital untuk menjaga loyalitas pendengarnya yang telah berganti generasi.

Kembali ke Pak Cik Nuim Khaiyyat yang aku belum sempat kesampaian bertemu muka. Hanya meja kerjanya yang dipenuhi material bahan siaran, berbagai peralatan kantor serta sebuah Al Quran namun dengan kursi kosong. Aku dengar dari temanku penyiar favoritku itu sering khotbah Jumat dan menjadi sesepuh masyarakat Indonesia di Melbourne. Selamat berlayar Pak Cik Nuim. Mungkin di lain waktu atau lain media aku bisa berjumpa anda. “Bersyukur dalam kejayaan, bersabar dalam cobaan”, itulah kata-kata bijak bestari yang masih kuiangat darinya. Toh, melalui life streaming aku masih bisa mendengarkan suaranya yang bak kicau burung Kokkabura itu. Diam-diam anakku umur tiga tahun sudah terbiasa mendendangkan: “Come to me Mr. Mahmud…….”. Wallhu a’lam bissawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar