Minggu, 16 September 2007

Belajar dari Mereka


Wajah-wajah mereka masih tampak lugu dan agak kekanakan. Songkok hitamnyapun dikenakan agak miring. Senyum mereka juga masih alami. Tapi tahukah kita bahwa prestasi mereka adalah level dunia. Sekali lagi tingkat dunia. Bukan level kabupaten atau RT. Empat medali emas mereka persembahkan untuk negeri ini yang mengukuhkan Indonesia sebagai juara pertama Olimpiade Fisika Internasional XXXVII di Singapura. Sebuah capaian tertinggi atas prestasi penguasaan ilmu fisika yang pesertanya siswa terpandai dari seluruh penjuru dunia. Dari negara miskin sampai kaya. Dari negara maju sampai negara yang hampir gagal. Indonesia ternyata mampu eksis. Kalau kemarin kita kecewa Timnas kita tidak bisa merasakan rumput Stadion Piala dunia di Jerman, berita tentang keberhasilan para siswa SMU ini tentu membanggakan kita dan mengangkat harkat kita sebagai bangsa Indonesia.
Prestasi ini diraih oleh putra-putra bangsa yang terlahir di sini pula. Hukum kewarganegaraan kita yang baru menyebut mereka sebagai putra Indonesia asli. Hal yang mungkin tidak dinikmati oleh orang tua mereka yang diantaranya adalah suku Tionghoa tersebut. Dan mengherankannya merekapun tumbuh dan berprestasi di tengah mutu pendidikan kita yang masih harus terus diperbaiki alias amburadul. Kita berharap nantinya mereka mau terus berprestasi untuk negeri ini dan tidak tergoda untuk hengkang ke luar negeri, karena biasanya di negeri ini yang berkualitas dan unggul akhirnya tidak dipakai. Hanya nasionalisme mereka yang kita harapkan.

Yang mengherankan kita adalah, kok bisa mereka berprestasi sehebat itu. Apakah benar negara punya andil besar dalam mengkatalisatori mereka. Agaknya sulit dipercaya peran negara sebesar itu di tengah biaya pendidikan yang masih belum terjangkau oleh seluruh rakyat sekarang ini. Kalau melihat carut marutnya pendidikan kita, sulit dipercaya tesis peran besar negara semacam itu. Biasanya negara hanya bisa mengklaim sebagai pihak yang paling berjasa ketika prestasi sudah terlanjur diraih.
Yang saya tahu, selama ini mereka diasah kemampuannya di pusat pelatihan Olimpiade Fisika yang agak-agak “swasta”. (Salut dan Hormat untuk Yohanes Surya yang sepenuh hati berjuang mempersiapkan tim Indonesia) Artinya inisiatif serta greget untuk berprestasi banyak didorong dan difasilitasi oleh kalangan diluar “institusi negara” dan bersifat “interpreneur”. Mereka tumbuh berkembang di negara yang baru “gragap-gragap” melek atas realitas perkembangan dunia dan berusaha memenuhi 20% PDB untuk anggaran pendidikannya.Tentu saja untuk pengesahan ijazah serta urusan paspor untuk mewakili negeri ini di luar negeri masih perlu otorisasi negara. Bagaimana kalau anak-anak potensial seperti mereka benar-benar difasilitasi oleh negara. Tentu lebih dahsyat lagi prestasi yang akan dicapai oleh anak-anak negeri ini. Mungkin tidak hanya di bidang fisika tetapi juga di bidang kimia, agama, biologi, sepakbola, seni, teknologi, militer dan sebagainya.
Yang menjadi pertanyaan lagi adalah siapa yang bisa memberi mereka inspirasi untuk berprestasi sehebat itu. Apakah orang-orang tua yang sekarang ini sedang menggenggam kekuasaan dan jabatan. Seperti ungkapan Bung Karno yang sangat inspiratif, “sediakan saya 10 pemuda, maka saya akan menggetarkan dunia” itu. Agaknya hal itu juga sangat sulit dipercaya akal sehat. Yang diketahui oleh masyarakat, pejabat-pejabat kita gila korupsi. Gedung-gedung sekolah saja bangunannya “ringkih” dan mudah ambruk karena anggaran dikepras dan dimakan aparat. Masak para birokrat itu berubah baik dan lalu memikirkan rakyatnya hari ini sehingga prestasi-demi prestasi bisa kita raih sebagai bangsa. Kalau bergaya “raja kecil” dan hidup mewah sih sudah menjadi rahasia umum. Benar-benar sebuah anomali.
Semoga fenomena ini yang disebutkan oleh agama; Tuhan akan mengganti kaum yang rusak dengan kaum yang lebih baik. Artinya sebuah pergantian generasi. Kalau bisa percepatan regenerasi. Kalau generasi tua sudah tidak bisa diperbaiki dan terlalu manja untuk mau bersungguh-sungguh membangun negeri ini, maka biarlah generasi yang lain yang akan melakukannya. Kalau tidak masuk bui sebagai pesakitan karena vonis kasus korupsi semoga mereka diazab Tuhan yang tidak pernah membuat mereka jera itu. Harapan minimal jangan menulari generasi muda dengan virus korupsi. Runtuhnya Bangsal Trajumas yang menjadi simbol keadilan di keraton Yogyakarta karena gempa bumi biarlah hanya berhenti sekedar teguran yang tidak diindahkan. Mungkin kita memang hanya bisa berharap dari pergantian generasi. Cepat atau lambat manusia tentu mati. Generasi yang hanya bisa berprestasi sebagai juara dunia korupsi biarlah berlalu tanpa sejarah gemilang. Generasi ’45 saja masih bisa andil memerdekakan negeri ini. Generasi tua sekarang ini hanya bisa korupsi. Sungguh memalukan. Tidak malu sama siswa-siswa lugu bersongkok hitam diatas. Wallahu a’lam bissawab.
* Warga Negara Indonesia

Dimuat: Radar Banjarmasin
Jumat, 25 Agustus 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar