Minggu, 16 September 2007

MIMPI INDONESIA 2030 DAN BPK RI


Merujuk pada ukuran sejarah, Indonesia yang berumur 62 tahun memang belumlah tua. Wajar kita percaya, NKRI pada saatnya akan meraih puncak kejayaannya seperti impian para pendirinya. Di tengah hiruk-pikuk transisi demokrasi dan segala keterbatasan, kita bersyukur masih bisa membayangkan Indonesia 23 tahun kedepan. Negeri kita pada tahun 2030 diproyeksikan oleh Yayasan Indonesia Forum akan berpendapatan 18.000 dollar AS, mampu mengelola kekayaan alam secara berkelanjutan, mewujudkan kualitas hidup modern dan merata, serta mengantarkan 30 perusahaan Indonesia dalam daftar Fortune 500. Pendeknya, Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi kelima dunia.
Selain ukuran-ukuran kinerja ekonomi seperti pertumbuhan 7,62%, inflasi 4,95%, dan pertumbuhan penduduk 1,12% pertahun, prasyarat pencapaian visi Indonesia 2030 adalah dukungan birokrasi yang efektif (Jawa Pos, 17 Mei 2007). Realitasnya, hari ini kita masih menduduki peringkat ke-7 negara terkorup di dunia dan peringkat ke-2 di Asia. Kita juga berpengalaman dengan ambruknya perekonomian pada tahun 1997 karena rapuhnya fondasi ekonomi akibat kanker korupsi, kolusi dan nepotisme yang merajalela. Belum lagi pulih seratus persen dari terpaan krisis ekonomi, kita dikejutkan dengan prediksi krisis moneter jilid II (Republika, 11 Mei 2007). Selain berbekal semangat, tentu harus ada langkah-langkah cerdas untuk mewujudkan mimpi Indonesia 2030 tersebut.

Perbaikan Kinerja Pemerintah
Untuk memperbaiki kinerja pemerintah, maka harus dilakukan pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi secara paralel. Tentu kita tidak bisa mengharapkan Bulog bisa bekerja optimal menstabilkan harga beras jika praktik suap melanda operasionalnya bahkan sampai uangnya tercecer di dalam ember (Gatra, Maret 2007). Kasus-kasus besar korupsi yang sedang ramai dibicarakan saat ini sebenarnya hanyalah puncak gunung es yang tampak di permukaan. Operasi terhadap kanker korupsi harus dilakukan secara sistematis, dengan memberdayakan sistem organisasi kenegaraan yang ada.
Bergulirnya otonomi daerah justru memunculkan kerawanan penyimpangan pengelolaan keuangan. Banyaknya temuan-temuan BPK atas penyimpangan keuangan di daerah memberi bukti bahwa perubahan ke arah anggaran berbasis kinerja belum banyak diikuti oleh perubahan paradigma pegawai pemerintah. Mental ”menghabiskan anggaran” birokrat kita seperti ditunjukkan dengan ”laptop berharga 21 juta”-nya DPR beberapa waktu yang lalu sebenarnya realitas merata di hampir seluruh daerah.
Pernah dilansir oleh Prof Soemitro, kebocoran anggaran di negara kita sekitar 30 persen. Saat inilah momentum tepat untuk menekan kebocoran anggaran akibat korupsi tersebut. Penambahan dana dari segi penerimaan maupun penghematan dari segi pembelanjaan pemerintah akan bisa dialokasikan untuk berbagai keperluan di bidang pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan PNS yang diharapkan bisa mempercepat terwujudnya good governance seiring dengan digulirkannya reformasi birokrasi.
Adalah berdalih naif pihak yang beranggapan pemberantasan korupsi akan mengganggu pertumbuhan ekonomi. Sebab di era swasta saat ini peran pemerintah semakin mengecil dalam menggerakkan perekonomian. Ketakutan birokrasi untuk bergerak karena takut dianggap korupsi hanyalah efek sementara atas upaya pemberantasan korupsi. Justru korupsi yang akan menyebabkan malpraktik pemerintahan, menyebabkan dampak negatif seperti ekonomi biaya tinggi, tidak kondusifnya iklim investasi, carut marutnya pelayanan publik serta tidak adanya kepastian hukum dari pelayanan perijinan sampai kasus konflik kepemilikan tanah.
Revitalisasi BPK sebagai Rencana Aksi Strategis
Dalam beberapa tahun terakhir, BPK banyak menghasilkan temuan besar menyangkut penyimpangan keuangan negara/daerah. Diantaranya adalah penemuan 957 rekening sebesar 22,5 trilyun rupiah atas nama pejabat, penempatan dana pemerintah di BUMN yang tidak jelas sebesar 35,6 trilyun serta yang paling akhir yaitu penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar 24,43 trilyun yang belum disetor ke kas negara (Tempointeraktif, 5 April 2007). Meminjam istilah Anwar Nasution, ”tanpa berkeringat, pemerintah sudah mendapatkan dana puluhan trilyun dari temuan hasil pemeriksaan BPK”.
BPK yang pernah ”dikerdilkan” di era Orde Baru ini harus direvitalisasi kembali menjadi pemeriksa eksternal independen pengelolaan keuangan negara. Penetapan Undang-Undang No 15 Tahun 2006 tentang BPK sebagai amanat UUD 1945 memberi landasan bagi proses ini, yang menjamin kemandirian dalam bidang anggaran, pemeriksaan, legislasi, kelembagaan, organisasi serta kepegawaian. Kemandirian ini pada akhirnya akan memastikan ketersediaan SDM yang berkualitas, sarana pendukung dan kesejahteraan pegawai untuk memastikan pemeriksaan BPK lebih independen, profesional dan berintegritas untuk menghasilkan laporan yang bermutu.
Dengan modal awal revitalisasi BPK yang tidak terlalu besar dibandingkan kerugian negara akibat korupsi, pemerintah akan mampu menambah perolehan serta menghemat pengeluaran APBN/D-nya. Lembaga dengan 4.169 karyawan (2007) yang masih dalam proses pemekaran di setiap provinsi ini telah memiliki rencana strategis 2006-2010 yang mengarah pada pemeriksaan kinerja, investigatif dan audit lingkungan untuk pembangunan berkelanjutan seperti dengan adanya audit dampak lumpur Lapindo serta kebakaran hutan. Pemanfaatan teknologi informasi oleh BPK dengan mempublikasikan hasil pemeriksaannya di internet dan kemampuan menindaklanjuti pengaduan masyarakat diharapkan akan memastikan tegaknya pengelolaan keuangan negara secara transparan dan bertanggungjawab. Hal ini sinergis dengan upaya rencana aksi strategis untuk mewujudkan visi Indonesia 2030.
Akhirnya, upaya revitalisasi BPK ini tidak akan banyak berguna jika tidak disertai sinkronisasi tumpang tindihnya peraturan perundangan yang banyak menghambat kerja pemeriksaan BPK, misalnya dalam hal kerahasiaan perbankan serta perpajakan. Arsitektur kelembagaan pemeriksaan keuangan negara kita juga harus dirampingkan, untuk mengatasi tumpang tindihnya pelaksanaan audit dan efisiensi biaya serta sumber daya manusia auditor kita. Dukungan segenap kekuatan masyarakat madani diperlukan untuk mendorong agar temuan hasil pemeriksaan ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang berkompeten (pemerintah sebagai terperiksa, kepolisian dan kejaksaan)
Jika upaya-upaya diatas bisa terwujud, maka diharapkan negara kita akan semakin mampu menghadapi persaingan global. Mimpi Indonesia tahun 2030 akan lebih mudah diraih, tentu bukan hanya oleh upaya para pedagang, tetapi secara bersama-sama seluruh kekuatan komponen bangsa secara sinergis. Wallohu a’lam bissawab.



Nico Andrianto SE., Ak.
Penulis buku: Good e-Government, Transparansi dan Akuntabilitas Publik Melalui e-Government, bekerja sebagai auditor pada Perwakilan BPK RI di Palangka Raya. (opini merupakan pendapat pribadi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar