Rabu, 26 Desember 2007

Anti Korupsi, Sebuah Isu Politik


Dalam bukunya “Alchemy of Finance” Josh Sorosh menjelaskan secara gamblang rahasia keberhasilannya menjadi seorang fund manajer tingkat dunia. Ia ceritakan bahwa kemampuan “mendahului pasar” sebagai kunci suksesnya. Mendahului pasar disini adalah kemampuan membaca kecenderungan-kecenderungan pasar, dan kemudian memanfaatkannya untuk keuntungan perusahaan fund manajer pimpinannya. Dengan rumus itu berkali-kali ia memenangi pasar dan meraup keuntungan dari jutaan sampai milyaran dollar. Bahkan ia berani menawarkan keuntungan berlipat ganda dalam bisnis jual beli (spekulasi mata uang) forex kepada para pemilik dana. Diimbangi oleh konsistensinya memegangi prinsip serta keuntungan yang ia dapat, para investor sangat mempercayainya. Bahkan pada akhirnya, batuk kecil seorang Sorosh direspon oleh para pelaku pasar uang internasional. Dan kita, para follower, sampai hari ini masih merasakan kebangkrutan dari dampak petualangannya itu.

Dalam dunia politik terdapat adagium, ”menumpangi gerbong yang sudah mulai berjalan tanpa harus mendorongnya”. Banyak para politisi yang menikmati perubahan padahal bukan dia yang memulainya. Biarlah orang lain yang mendorong kereta, dan kita menumpanginya ketika gerbong sudah mulai bergerak. Kalau sudah bergerak, siapa yang mau ketinggalan kereta. Seperti kita kenal ada istilah kader kos-kosan atau bahkan kader kutu loncat. Saat segelintir orang berjuang, tidak muncul batang hidungnya. Tetapi ketika perubahan sudah di depan mata, rame-rame menyeberang seolah-olah pahlawan yang baru pulang dari medan perang. Sepertinya hal tersebut sah-sah saja dalam ”dunia kebinatangan” politik.
Di Indonesia perubahan sudah mulai bergerak. Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi mulai memiliki taji. Data dari Mendagri sampai dengan 23 Maret 2006 telah terdapat tidak lebih 1.100 pejabat pemerintah terlibat/diperiksa dalam kasus korupsi. Angkanya, 7 orang Gubernur, 60 orang Bupati/Walikota, 8 orang kepala Daerah, 327 orang anggota DPRD Provinsi dan 735 orang anggota DPRD Kabupaten/Kota. Banyak yang sudah masuk bui. Ini sebuah angka faktual. Apakah kita masih berfikir perang anti korupsi hanya di ”Pusat” seperti di KPU atau Departemen?
Nampaknya, perubahan yang terjadi juga bukan hanya sebuah tren. Dari sisi kelembagaan telah terdapat KPK yang akan terus menjadi ujung mata tombak pemberantasan korupsi. Kampanyenya tentang anti korupsi direspon secara luas oleh masyarakat. Usaha-usaha pencegahan dan penindakan serta pendidikan masyarakat dilakukan secara paralel. Lalu, BPK-RI yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar perannya (UU BPK-RI) semakin diperkuat. Ada lembaga bentukan baru seperti KPPU, PPATK, Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi yang perannya semakin nyata. Dalam proses ini, meski berfluktuasi, isu pemberantasan korupsi memberikan tren yang terus meningkat.
Terdapat pembatasan masa jabatan politik Presiden dan Kepala Pemerintahan di Daerah dua periode. Peran masyarakat madani mendorong akuntabilitas publik semakin perkasa. Kebebasan pers untuk transparansi publik memiliki momentum paling cerah dalam sejarah Republik. Tayangan semacam ”realitas”, ”sigi”, ”investigatif” yang semakin menjamur dan digandrungi masyarakat telah menyentuh ruang tidur kita, bahkan kafe/hotel tempat kongkow-kongkow transaksi proyek. Seorang politisi top bisa jatuh hanya oleh tayangan ”adegan mesum”-nya. Wajah para koruptor dipajang di layar kaca. Reformasi birokrasi terus digulirkan dengan percepatan-percepatan. Marilah kita bangun dari tidur panjang dan ”dunia Taman Kanak-Kanak”.
Pertanyaannya kemudian adalah, masihkah para pelaku politik berfikir linier dengan menggantungkan diri pada model ”politik koruptif” untuk memainkan peran-peran kepolitisiannya. Mengeluarkan duit besar untuk kampanye, dan korupsi dengan memanfaatkan jabatan yang diraih untuk balik modal. Sungguh sangat klasik dan lugu. Kalau jalan judi seperti itu yang terus diambil, maaf, ia hanya akan menjadi pecundang. Politisi atau partai yang seperti itu pada akhirnya hanya akan menjadi cemoohan rakyat yang semakin pintar. Masih untung kalau tidak masuk bui karena terbukti oleh pengadilan.
Isu ideologi juga sudah bukan jaminan di era yang semakin mengglobal ini. Program dan kepedulian kepada rakyat adalah kunci keberhasilan di era demokrasi. Ketulusan untuk mengabdi yang akan dinilai positif oleh rakyat. Sudah banyak sekali bukti. Dari yang tampil religius atau nasionalis, tetap saja masuk bui karena terbukti korupsi. Marilah berfikir ”mendahului pasar”. Marilah berselancar di atas gelombang perubahan. Bacalah tanda-tanda zaman. Dan jangan tenggelam oleh gelombang perubahan. Wallohu a’lam bissawab.

Nico Andrianto*
*WNI

Dimuat: Buletin Independen
Edisi Reborn, Januari 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar