Rabu, 26 Desember 2007

CALON INDEPENDEN DAN TUGAS BPK-RI


Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan class action Lalu Ranggalawe, seorang anggota DPRD Lombok Tengah dari Partai Bintang Reformasi, atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Kompas, 30 Juli 2007). Dalam putusan MK itu dibuka kemungkinan pasangan calon independen dalam Pilkada, disamping calon yang diusung oleh partai politik. Meski masih memerlukan payung hukum lebih lanjut seperti Perpu ataupun revisi UU, perkembangan ini patut disyukuri oleh segenap rakyat.
Putusan tersebut ibarat angin segar bagi kebuntuan terkait mahalnya biaya politik pencalonan kepala daerah selama ini. Telah banyak diulas di media massa tentang mahalnya politic cost para kandidat yang akan maju dalam Pilkada. Dalam kasus DKI Jakarta beberapa saat lalu sempat berhembus besaran nominal 1,5 sampai 2 milyar uang ”mahar” yang telah dikeluarkan oleh beberapa kandidat untuk menggandeng kendaraan politik, bahkan hanya untuk sebuah kegagalan pencalonan.

Mahalnya biaya kendaraan politik ini menyebabkan psikologi ”biaya balik modal” bagi calon yang terpilih menjadi kepala daerah. Politik biaya tinggi seperti ini berimbas pada kecenderungan terjadinya korupsi atas pengelolaan keuangan daerah, yaitu penggunaan dana publik secara ilegal untuk tujuan pribadi atau kelompok kepala daerah terpilih, untuk mengembalikan modal awal pencalonan. Belum lagi adanya moral hazard kepada para penyumbang besar yang pasti akan menuntut kompensasi atas sumbangannya, karena ”tidak ada makan siang gratis”.
Peran Strategis BPK-RI
Terdapat dinamika kenegaraan pasca reformasi yang merevitalisasi Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) sebagai sebuah lembaga negara. UUD 1945 hasil amandemen mengukuhkan kembali BPK-RI sebagai auditor independen pemerintah satu-satunya dan mengamanatkan pembentukan kantor perwakilannya di setiap ibukota privinsi (pasal 23 E ayat 1 dan pasal 23 G ayat 1). Terjemahan atas perkembangan diatas adalah dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan tanggal 30 Oktober 2006.
BPK-RI menyadari tugasnya semakin berat dengan digulirkannya Otonomi Daerah yang memunculkan kompleksitas permasalahan akibat pelimpahan kekuasaan dan urusan keuangan dari pemerintah pusat ke daerah. Sebagai lembaga negara, BPK-RI harus selalu mampu mengikuti dinamika penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan seperti dengan digulirkannya Pemilihan Kepala Daerah secara langsung berbiaya besar yang menuntut perhatian tersendiri termasuk dengan adanya perkembangan calon independen.
Beberapa jenis audit baru dilakukan, seperti audit KPU dan audit bantuan keuangan kepada partai politik yang merupakan jenis audit dengan tujuan tertentu. Jenis audit baru ini semata-mata untuk memastikan dana publik dimanfaatkan secara efisien, efektif dan ekonomis, karena masih banyak yang harus dibiayai oleh pemerintah seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan reformasi birokrasi.
Standar Pemeriksaan BPK-RI
Menghadapi semakin meningkat kompleksitas obyek dan jenis pemeriksaannya, dalam beberapa tahun terakhir, BPK-RI berupaya melengkapi dan turut serta secara aktif dalam upaya penyusunan dan pembaharuan standar, pedoman etika dan petunjuk teknis untuk pemeriksanya di lapangan. Upaya ini misalnya peran aktif dalam tim yang dibuat oleh pemerintah, organisasi profesi (Ikatan Akuntan Indonesia kompartemen akuntan sektor publik) dan di dalam intern BPK-RI sendiri.
Produk standar profesi tersebut diantaranya adalah Peraturan BPK-RI No.1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). Juga Peraturan BPK-RI No.2 Tahun 2007 tentang Kode Etik BPK-RI. Di intern pemerintah dihasilkan Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan yang integral dengan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Dalam SPKN diatur tentang syarat kemampuan/keahlian pemeriksa, independensi, penggunaan kemahiran profesional secara cermat dan seksama serta pengendalian mutu pemeriksaan. Diatur juga tentang komunikasi pemeriksa, dokumentasi pemeriksaan, tanggapan pejabat yang bertanggungjawab (auditee), pelaporan informasi rahasia serta bukti pemeriksaan. Bentuk dan isi laporan, unsur-unsur kualitas laporan, penerbitan dan pendistribusian laporan juga merupakan obyek yang diatur dalam standar tersebut.
Dengan standar ini maka diharapkan hasil pemeriksaan BPK akan dapat diperbandingkan di tiap entitas yang diperiksa serta dapat dipertanggungjawabkan mutunya. Sebagai contoh, sebelum hasil pemeriksaan menjadi final, sesuai standar diharuskan pemeriksa meminta tanggapan auditee atas hasil pemeriksaannya, dan tanggapan ini dipertimbangkan serta dicantumkan dalam laporan pemeriksaan. Untuk memastikan hasil pemeriksaan memenuhi pertanggungjawaban publik, BPK-RI mencantumkan hasil pemeriksaannya di website resminya (bpk.go.id) yang kewenangannya ada pada Badan yang beranggotakan sembilan orang di kantor pusat.
Sesuai Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara pasal 19 disebutkan bahwa laporan hasil pemeriksaan yang telah disampaikan kepada lembaga perwakilan, dinyatakan terbuka untuk umum. Menjadi kewajiban DPR/D sebagai perwakilan, yang dipilih oleh rakyat tiap lima tahun sekali, untuk membuka hasil pemeriksaan BPK-RI kepada masyarakat ataupun konstituennya masing-masing.
Di dalam UU tentang BPK maupun UU tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara disebutkan sanksi pidana dan denda bagi auditor yang dengan sengaja mempergunakan dokumen yang diperoleh dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan dengan melampaui batas kewenangannya. Aturan tersebut dibuat untuk memastikan pemeriksaan dilakukan secara profesional dan jauh dari tarikan kepentingan-kepentingan tertentu.
Penutup
Untuk menjalankan kewajiban konstitusionalnya, BPK-RI selalu berupaya meningkatkan kompetensi dan lingkup pemeriksaannya untuk memastikan dana publik digunakan secara efisien, efektif dan ekonomis dan tidak dikorupsi oleh penyelenggara unit kerja ataupun lembaga pemerintahan. Pelaksanaan demokrasi mensyaratkan pembagian peran dan fungsi masing-masing kelembagaan negara yaitu meliputi legislatif, eksekutif dan yudikatif dengan tujuan tercapainya cita-cita para pendiri negara.
Partai politik adalah manivestasi penyambung lidah rakyat/umat dalam proses pengelolaan pemerintahan. Pasti kita setuju semangat nasionalisme dan relijius yang diusung sebagai ideologi partai-partai memiliki tujuan mulia untuk mencapai kesejahteraan segenap rakyat dan tentu saja sangat bertentangan dengan tindakan korupsi. Menjadi tantangan berat bagi partai-partai politik untuk membuktikan upayanya mewujudkan tujuan mulia tersebut, sebab hari ini rakyat yang tidak percaya kepada parpol diberikan kesempatan untuk menentukan sendiri pemimpinnya (kepala daerah) melalui jalur calon independen. Wallohu a’lam bissawab.
Nico Andrianto SE., Ak.
Penulis buku: Good e-Government, Transparansi dan Akuntabilitas Publik Melalui e-Government. Bekerja sebagai auditor pada Perwakilan BPK RI di Palangka Raya. (opini merupakan pendapat pribadi)
Dimuat di harian Borneo News

Tidak ada komentar:

Posting Komentar