Kamis, 06 Mei 2010

Belajar dari Kosmopolitanisme di ANU


Harus jujur saya akui, saya merasa beruntung bisa merasakan kosmopolitanisme Australian National University (ANU), sebuah universitas dengan mahasiswa dari berbagai etnik bangsa di dunia. Bukan karena Indonesia bukan negara multi-ethnic, tetapi keragaman di Australia lebih kaya.

Saya tidak akan pernah melupakan saat pertama di Crawford School of Economic and Government berjumpa teman-teman dari berbagai negara, para mahasiswa berbakat dari berbagai sub-kultur Asia-Tengah, Selatan, Tenggara, Timur, Afrika, Pasifik, Eropa serta Australia.


Keragaman ini tergambar jelas dalam sebuah acara multicultural event di kampus kami dimana setiap mahasiswa mengenakan pakaian nasionalnya masing-masing. Untuk pertama kalinya kami mengetahui betapa eksotiknya pakaian tradisional yang membalut tubuh dengan wajah tersenyum kawan kami dari Bhutan. Negeri kecil yang aman damai di kaki gunung Himalaya ini ternyata merupakan satu-satunya negara di dunia yang menerapkan Gross National Happiness untuk mengukur kesejahteraan rakyatnya.

Keadaan yang agak kontras tergambar dari wajah rekan kami dari Afghanistan yang terkesan murung dan loyo saat pertama kami jumpai di kelas Policy of Government Program. Baju yang mereka kenakan pada acara budaya itupun model Barat, bukan baju nasional kebanggaan mereka. Nampaknya, pengaruh perang yang berkepanjangan di negara asal turut merembes kedalam alam pikiran bawah sadar mereka. Syukurlah, kini mereka sudah bisa tersenyum dan satu diantaranya bahkan dikenal sebagai mahasiswa yang cukup cerdas dan aktif dalam diskusi-diskusi di kelas kami.

Sementara itu, teman-teman Pakistan kami rata-rata lebih santai dan cuek dengan penampilan mereka. Saya menangkap kesan mahasiswa dari negara tetangga Afganistan ini senang dengan keberadaan mereka di Negeri Kanguru untuk melepaskan kepenatan permasalahan di negeri asal mereka. Mereka sangat percaya diri mengungkapkan ide-ide mereka dan tidak terkendala bahasa. Keadaan yang tak jauh berbeda juga tergambar dari sobat-sobat India kami yang sangat fasih berbahasa Inggris, meski tak bisa mengelak dari logat khas mereka. Hanya pakaian tradisional para wanita mereka yang memberi penanda identitas mereka sebagai kaum dari anak benua India.

Keadaan diatas sedikit berbeda dengan penampilan kawan-kawan kami dari China. Pakaian dan penampilan keseharian mereka memberi impresi akan negeri mereka yang fast-developing dan kaya baru. Kemampuan akademis mereka juga diatas rata-rata, namun dengan daya spontanitas dan kritisisme intelektual yang agak lemah. Mungkin kenyataan itu bisa menggambarkan sistem pemerintahan mereka yang masih komunis namun dengan penerapan ekonomi pasar sebagai “kucing pilihan yang bisa menangkap tikus”.

Dengan berat hati dan subyektif, saya harus mengelompokkan kolega-kolega kami dari Filiphina, Thailand, Cambodia, Vietnam, Malaysia, Uganda, Usbekistan dalam satu grup strata akademis, rata-rata. Keadaan yang tak jauh berbeda juga melanda sahabat-sahabat dari kawasan Pasifik kami; Vanuatu, Marshal Island dan Fiji, dengan beberapa pengecualian dari sedikit diantara mereka.

Kejutan, terus terang datang dari kawan-kawan Srilanka dan Bangladesh kami. Ditengah pusara konflik berkepanjangan serta kemiskinan yang melanda, ternyata muncul “mutiara-mutiara hitam” yang sangat berharga. Meski terkesan kurang kritis di dalam diskusi, pencapaian akademis mereka rata-rata tinggi. Beberapa nilai ujian tulis maupun short paper mereka bahkan mencapai high distinction, sebuah pencapaian akademis yang didambakan oleh para mahasiswa di universitas dengan tingkat penilaian yang sangat ketat dan merupakan salah satu terbaik di Australia ini.

Justru yang membuat saya heran adalah kondisi friends kami dari negara semacam Australia, Hungaria dan Inggris. Mereka tidak begitu menonjol di ruang-ruang diskusi kelas kami. Mungkin hal ini terjadi karena keberadaan mereka yang minoritas, sehingga kurang bisa berkembang. Yang melatarbelakangi keheranan saya adalah bukankah bahasa, budaya, pola pikir tidak menjadi kendala ditengah banjir informasi di jaman globalisasi sekarang ini.

Lalu bagaimana dengan kondisi para mahasiswa dari Tanah Air? Jujur saya katakan kondisi mereka secara akademis tidak perlu dikhawatirkan. Prestasi mereka patut dibanggakan di banyak individu dan masih masuk rata-rata passing grade untuk selebihnya, termasuk saya. Yang patut dicatat, kami lumayan mendominasi dalam berbagai topik perdebatan-perdebatan di dalam kelas dengan kitisisme yang boleh dikata diatas rata-rata. Dan kami yang mengenakan pakaian batik dalam acara kultural tersebut, cukup menggambarkan keunikan serta unity in diversity bangsa Indonesia.

Perjumpaan antar budaya kami di Australia telah membuka banyak wawasan baru. Saya berjumpa dengan kisah polisi korup di museum kota Canberra. Saya faham tentang kejujuran sejarah kelamnya nasib kaum Aborigin dari perkuliahan di ANU, dimana pemerintah Australia telah resmi mememinta maaf dan Ministry of Multicultural and Indigeneous People dalam struktur pemerintahan mengelola keragaman yang ada. Perjumpaan sosial dan budaya di ANU seperti Kebab Turki kesukaan saya yang merepresentasikan eksotisme dunia Barat dan Timur.

Bisa dikata ANU bukan hanya melting pot budaya tetapi juga pemikiran. Saya jadi tahu ternyata negara dengan tingkat indeks kesehatan tertinggi di dunia adalah Kuba, bukan Amerika Serikat. Negara-negara di Skandinavia sejak lama menerapkan pajak tinggi untuk membiayai sistem jaminan sosial mereka. Jepang dengan MITI-nya adalah negara yang memperkenalkan sistem pembangunan terarah berstrategi dengan memanfaatkan segala keunggulan SDM yang ada untuk membangun kembali kehancurannya pasca kekalahan dalam Perang Dunia II. Dalam bahasan perkuliahan yang jujur, demokrasi liberal atau bahkan kemerdekaan teritori dan administratif sebuah bangsa sekalipun tidak akan serta-merta menghadirkan kesejahteraan jika tidak jelas arahnya serta dikelola dengan baik, dan sebaginya.

Namun tak jarang, pembahasan perkuliahan merembet pada tema-tema yang menyentuh penanda identitas masing-masing mahasiswa. Bahasan tentang kompatibilitas agama dengan developmentalism, neo-imperialisme negara industri baru yang haus bahan baku dan energi, atau kemiskinan negeri-negeri tertentu misalnya, tak jarang mengundang “protes” spontan dan rasa nasionalisme dari beberapa mahasiswa. Sedangkan kami dari Indonesia bisa berbangga dengan kenyataan sebagai negara muslim demokrasi terbesar, meski harus tersenyum kecut dengan stigma sebagai pemilik negara “terkorup” di dunia.

Akhirnya, para mahasiswa kita bisa menilai dengan jujur berbagai keadaan di banyak negara ketika berjarak dan dalam lingkungan akademis yang bebas. Mungkin, kondisi semacam ini yang dirasakan oleh para founding fathers kita saat mereka terfikir akan bangsanya ketika mereka menuntut ilmu di negeri manca. Meski terkesan riuh rendah, namun ide-ide mereka sangat berharga ketika dilandasi oleh semangat cinta tanah air. Yang mungkin perlu dilakukan oleh pemerintah kita adalah mengirim lebih banyak mahasiswa, mencegah brain drain dengan memberi tempat, fasilitas serta dana yang cukup untuk mewujudkan ide-ide cemerlang mereka. Dengan demikian keadaan semacam Restorasi Meiji akan terjadi di Indonesia. Wallohu a’lam bissawab.

Dimuat di Kompasiana 5 Mei 2010 | 15:08

1 komentar:

  1. Innalhamdalillah. Saya sangat senang dengan postingan Abang yang banyak memberi informasi mengenai situasi belajar di Australia dan semangat para mahasiswanya. Saya juga ingin mendapat beasiswa dari pemerintah Australia, oleh karena itu saya ingin berteman lebih akrab dengan Bang Nico di email maupun di facebook. Boleh ya Bang. Sekarang saya PNS di salah satu kota di Provinsi Sumatera Utara. Mudah2an Allah meridhoi semua niat baik kita. Amin.

    Nasrumminallahi wa fathun Qarib.
    Mardian Habibi Gultom

    BalasHapus