Sabtu, 01 Mei 2010

Memimpin dengan Kerendahan Hati


Saat menghadiri pidato ilmiah di ANU, saya beruntung berkesempatan berjabat tangan dan ngobrol singkat dengan sang pembicara tunggal, Kevin Rudd. Diluar dugaan saya, Perdana Menteri Australia ini begitu mudah didekati, ramah dan jauh dari kesan protokoler seorang kepala pemerintahan dari negara berpenduduk 22 juta orang. Meski tetap saja tergambar ketegangan di raut wajah dosen pengantar kami, pertemuan pemimpin Australia dengan para mahasiswa dari Indonesia berlangsung penuh bersahabat dan benar-benar easy going.

Ini sungguh, buktinya dia menyapa kami dengan kata “Selamat malam”, dan lalu menyebut “Surabaya?” ketika saya katakan berasal dari Jawa Timur. Bukan semata karena pengetahuannya tentang Asia yang sangat mumpuni sebagaimana pidato ilmiahnya tentang China malam itu cukup presisi dan ditaburi berbagai ungkapan dalam bahasa mandarin yang fasih, di berbagai kesempatan pemimpin Partai Buruh Australia ini memang dikenal cukup friendly.


Bahkan saat menangkis serangan-serangan politik pemimpin oposisi Tony Abbott dan kawan-kawannya, Kevin Rudd cukup dingin dan jauh dari emosional. Pada kasus kegagalan program pemasangan insulasi rumah yang menjadi amunisi penuh daya ledak kaum oposisi, Kevin Rudd pasang badan membela menterinya dengan pernyataan, “don’t blame my minister, please blame me”.

Sebagai mahasiswa Master of Public Policy, saya beruntung berkesempatan menyaksikan langsung debat terbuka di Parliament House Australia beberapa waktu lalu yang berjalan panas, diwarnai lontaran-lontaran cemoohan serta gerutuan khas kaum oposisi pada setiap pemaparan oleh menteri-menteri pemerintah. Berhadap-hadapan di depan ketua parlemen, hanya dipisahkan sebuah meja dengan buku-buku produk perundangan dan tiga orang ahli hukum Mahkamah Agung Australia, perdebatan berlangsung sangat dinamis. Harus difahami, di Australia peran oposisi diakui secara resmi oleh undang-undang dan diberi tempat terhormat di Parlemen.

Saya jadi mahfum, di negeri maju semacam Australia peran seseorang sebagai pemimpin pemerintahan atau politisi hanyalah sebuah profesi belaka sebagaimana seorang akuntan atau cleaner. Rasionalitas sebagai perwakilan rakyat membuat budaya politik dan pemerintahan berlangsung wajar dan jauh dari elitisme, apalagi mitos-mitos feodalisme. Pemimpin dan rakyatnya ibarat kawan yang akrab. Dalam posisi yang berbeda, pemimpin Partai Liberal Tony Abbot dinamai oleh pendukungnya sebagai iron man karena sering muncul di televisi dengan peran “penyeterika” baju saat mengunjungi para pekerja garment.

Apakah kedekatan seorang pemimpin dan rakyatnya hanya monopoli di negara demokrasi liberal? Sepertinya tidak. Buktinya dari sejarah kita mengenal alm. Sri Sultan Hamengkubowono IX yang di jalan rela mengangkatkan barang dan mengantarkan mbok-mbok bakul dengan mobil yang beliau kemudikan sendiri. Si mbok baru terbengong-bengong hampir pingsan ketika kemudian mengetahui yang mengantarkannya ke pasar tadi adalah “Sinuwun” yang sangat dihormatinya. Jadi, tidak ada hubungan linier antara feodalisme dengan “jarak” antara rakyat dan pemimpin.

Bukti lainnya, di jaman kekhalifahan Umar bin Khattab(634-644 M), sang amirul mukminin rela memikul sendiri sekarung gandum untuk rakyatnya yang sedang kelaparan. Hal tersebut dilakukannya setelah mendengar dengan telinganya sendiri seorang janda mencela pemimpinnya, yaitu dirinya, yang membiarkannya kelaparan karena tidak punya bahan makanan. Kedekatan seorang pemimpin dengan rakyat ini sangatlah penting untuk mengetahui aspirasi dan kebutuhan nyata rakyat, karena filosofinya pemimpin adalah orang yang melayani ummat/rakyat yang dipimpinnya.

Selain itu, Khalifah Umar bin Khattab juga melakukan ”penyamaran” mengunjungi berbagai wilayah secara diam-diam guna mendengar langsung keluhan rakyat terhadap pemerintah (tugas Muhtasib). Khalifah kemudian membentuk Qadi al Quadat (Ketua Hakim Agung) dengan tugas khusus melindungi warga masyarakat dari kesewenangan dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat pemerintah (Gilling: 1998), yang menurut Dean M Gottehrer (2000) mantan Presiden Asosiasi Ombudsman Amerika Serikat menjadi cikal bakal dan akar ombudsman modern.

Lalu bagaimana dengan keadaan negara kita saat ini. Demokrasi prosedural yang sedang kita jalani mensyaratkan pencitraan yang baik seorang pemimpin dimata rakyatnya. Oleh karena itu, tak heran di masa-masa pemilu banyak calon pemimpin yang mengunjungi pasar tradisional sebagai sebuah seremonial merebut hati dan pikiran rakyat. Tak ada salahnya seremoni semacam ini, namun yang jauh lebih penting lagi adalah kebijakan sang pemimpin yang memihak rakyat, dan bukan hanya menjadi kepanjangan tangan kepentingan pemilik modal atau bahkan kekuatan asing ketika sudah terpilih.

Sepertinya kita masih jauh dari demokrasi substantif, terbukti dari masih banyaknya korupsi dan penyalahgunaan kewenangan oleh pengemban amanah rakyat. Pemimpin kita masih cenderung feodal dan minta dilayani oleh rakyatnya bak raja-raja kecil. Yang sudah pasti kita temui hari-hari ini adalah kemacetan lalu-lintas saat seorang pejabat berkunjung ke suatu tempat dengan protokoler bak seorang presiden sebuah negara adikuasa. Yang kita dambakan adalah pemimpin sebenarnya yang bisa mendengarkan aspirasi dan mengetahui keluhan rakyatnya, serta rela mendengarkan suara-suara yang lemah itu dengan kerendahan hati. Wallohu a’lam bissawab.

Dimuat di Kompasiana, 1 Mei 2010 | 18:36

1 komentar:

  1. Makasih mas atas artikelnya. Sangat menginspirasi saya yg baca...

    BalasHapus