Tanggal 19 Juni yang lalu, DPR RI mengesahkan Undang-Undang No.28/2007 (pengganti UU No 16/2000) tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Konsep dasar KUP ini mengacu pada model Amerika Serikat, dimana dipakai sistem self assesment, yaitu sebuah bentuk keleluasaan kepada wajib pajak untuk melaporkan sendiri jumlah pajak yang harus dibayarkan kepada negara.
Salah satu alasan pemberlakuan self assesment adalah semakin banyaknya jumlah wajib pajak (lebih dari sepuluh juta NPWP) yang harus dilayani yang menyebabkan petugas pajak (fiskus) tidak bisa lagi meng-cover penentuan tarif pajak (official assesment) terhadap semua wajib pajak. Penggelapan yang dilakukan atas pembayaran pajak, diberikan konsekuensi sanksi berat berupa denda berlipat ataupun pidana yang diharapkan memberi efek jera.
Dibanding dengan negara-negara di kawasan Asia tenggara, tax ratio penerimaan pajak kita paling rendah (berkisar 13,5% PDB dibanding rata-rata 17%), yang seolah paralel dengan stempel negara kita sebagai terkorup ke-2 di Asia dan ke-7 di dunia. Menurut Kwik Kian Gie, setiap tahun perkiraan pajak yang diselewengkan oleh para wajib pajak adalah sebesar 215 trilyun (2005). Selain itu, terjadi pula potensi kehilangan pendapatan pajak sebesar 263 triliun akibat berlangsungnya underground economy seperti pembalakan hutan, illegal fishing, illegal mining, dan lainnya (pajak.go.id). Jumlah ini sangat besar untuk ukuran Indonesia yang realisasi penerimaan pajaknya berkisar 500 trilyun setahun.
Salah satu alasan pemberlakuan self assesment adalah semakin banyaknya jumlah wajib pajak (lebih dari sepuluh juta NPWP) yang harus dilayani yang menyebabkan petugas pajak (fiskus) tidak bisa lagi meng-cover penentuan tarif pajak (official assesment) terhadap semua wajib pajak. Penggelapan yang dilakukan atas pembayaran pajak, diberikan konsekuensi sanksi berat berupa denda berlipat ataupun pidana yang diharapkan memberi efek jera.
Dibanding dengan negara-negara di kawasan Asia tenggara, tax ratio penerimaan pajak kita paling rendah (berkisar 13,5% PDB dibanding rata-rata 17%), yang seolah paralel dengan stempel negara kita sebagai terkorup ke-2 di Asia dan ke-7 di dunia. Menurut Kwik Kian Gie, setiap tahun perkiraan pajak yang diselewengkan oleh para wajib pajak adalah sebesar 215 trilyun (2005). Selain itu, terjadi pula potensi kehilangan pendapatan pajak sebesar 263 triliun akibat berlangsungnya underground economy seperti pembalakan hutan, illegal fishing, illegal mining, dan lainnya (pajak.go.id). Jumlah ini sangat besar untuk ukuran Indonesia yang realisasi penerimaan pajaknya berkisar 500 trilyun setahun.