Kamis, 23 Desember 2010

Australia dari Dekat: Kehidupan sehari-hari

Sore itu aku menemukan sebuah pesawat televisi tergeletak di tempat sampah Toad Hall, asrama mahasiswa ANU. Dengan gerakan senyap serta sebisa mungkin menghindari memberikan jawaban yang “memalukan” kepada penghuni lain, kamipun segera memindahkan kotak ajaib itu ke kamar dan mencobanya. Ternyata teve masih berfungsi dengan baik. Ternyata mitos di negara maju banyak barang berharga dibuang adalah benar adanya. Itulah perjumpaan budaya pertama kami dengan Australia.


Dari layar kaca itupun perjumpaan-perjumpaan lainnya menjadi semakin intens. “Di Australia acara televisi sama payahnya dengan di Indonesia”, kata dosen pembimbing akademik kami yang memang lumayan sering ke Indonesia. “Karena banyak opera sabun dan hal-hal remeh-temeh yang diproduksi karena motivasi rating”, tambahnya. Namun kalau mau jujur, disini acara sedikit lebih bagus. Minimal banyak acara edukatif dan terdapat channel khusus untuk anak-anak yang menumbuhkan kreatifitas serta menjauhkan mereka dari tayangan dewasa di channel lainnya. Tayangan multicultural ada di salah satu channel, SBS. Selebihnya adalah tayangan “Eropa”, “Amerika” dan “Inggris”.

Setelah puas mengamati berbagai iklan produk di teve dari commercial brake, kamipun harus memenuhi kebutuhan alamiah kami, makanan. Civic shoping center di Canberra tempat belanja terdekat menawarkan berbagai pilihan produk dengan bermacam kualitas dan harga. Satu hal yang segera kami pelajari dalam kondisi uang saku yang terbatas adalah, teliti harga termurah dari berbagai macam jenis barang. Ada merek tertentu yang menangkap peluang dari konsumen-konsumen berkantung tipis seperti kami para mahasiswa pendatang yang sangat bergantung dari beasiswa ini. Tapi bagaimanapun, standar hidup kami otomatis ikut meningkat ketika tinggal di Australia, karena dari produk yang termurah tetap kualitasnya jauh lebih baik dan lebih bervariasi dari kebanyakan produk sejenis di Tanah Air.

Beasiswa yang kami terima setiap dua minggu (fortnight stipend) kalau dihitung-hitung sebanding dengan jaminan yang diberikan kepada pengangguran disini. Ya, orang tidak bekerja di Australia ini diberi uang untuk kebutuhan kesehariannya. Orang-orang yang di-PHK, misalnya karena krisis keuangan global kemarin, bisa mengajukan social benefit di Centre link terdekat. Minimal untuk beberapa bulan kedepan mereka tidak akan kelaparan dan menjadi masalah sosial. Hal yang sama juga diberikan kepada orang cacat atau orang tua renta yang sudah tidak produktif. Yang masih lolos dari saringan ini, ada social worker yang biasanya dari berbagai lembaga keagamaan memberikan makanan gratis bagi orang-orang miskin. Rekan saya seorang mahasiswa pernah ditawari makanan jenis ini ketika lewat di sudut city center, entah pertimbangan apa mereka. 

Sehingga pekerjaan mengemis adalah “tabu”, dan hanya dilakukan oleh mereka yang pemalas atau memiliki masalah sosial seperti pemabuk. Meski tidak banyak pengemis, namun saya pernah jumpai sangat sedikit spesies ini di city center dengan penampilan yang cukup mentereng untuk ukuran kita, dengan jas penghangat musim dingin. Mereka hanya meminta “uang kecil” tanpa memaksa. “Orang kecil” lainnya yang pernah saya temui adalah Bule lusuh pembersih kaca mobil sukarela di jalanan, yang melaksanakan “tugas suci”-nya tersebut karena menjalani hukuman kerja sosial. Sedangkan pengamen ataupun seniman jalanan pun disini adalah professional, dan hanya menyediakan tempat biola atau gitar sebagai wadah bagi “apresiasi kecil” yang diberikan oleh penonton yang merasa terhibur dengan penampilannya.

Sebenarnya, kalau mau sedikit peras keringat, tak akan ada orang kelaparan disini. Kerja dengan skill rendah seperti cleaner, cashier, atau housekeeping yang banyak dijalani oleh para mahasiswa kita memberikan dollar pemasukan yang berarti kalau dirupiahkan. Standar gaji disini sangat tinggi, mungkin karena sejarah panjang peran organisasi buruh Australia yang sampai mempunyai partai sendiri, Labor Party. Berganti-ganti kekuasaan dengan Liberal Party yang “dikuasai” kaum usahawan, partai buruh mendominasi jagad perpolitikan negeri kanguru dengan menyumbangkan nama-nama Perdana Menteri, termasuk untuk mempertahankan sistem jaminan sosial ini ditengah perkembangan ageing population.

Tidak semua Bule itu orang kaya. Benar, disamping gedung-gedung megah, mobil-mobil sport terbaru di jalanan yang luas dan mulus, masih ada orang kulit putih yang tidak beruntung. Mereka kebanyakan imigran yang berasal dari Eropa Timur dengan latar belakang pendidikan dan sosial lebih rendah yang tentu tak seberuntung kebanyakan imigran dari Eropa Barat lainnya. Tak heran, garage sale, Sunday market maupun toko barang second hand seperti di Salvos tak hanya diserbu orang-orang Asia atau Afrika, tapi juga orang-orang Bule. Pernah dengan perasaan trenyuh kudapati pembantu toko kelontong seorang Tionghoa dari Indonesia disini adalah seorang Bule kurus. Beberapa kawan cleaner akrab saya juga orang Eropa asli. Mungkin beberapa diantara mereka pernah ke Bali sebagai wisatawan yang kita panggil “Mister”.

Dari interaksi yang intens bisa dipahami “stereotype” yang berkembang semisal, cleaner biasanya orang Kroasia, kasir supermarket atau sopir taksi “hampir selalu” orang India, dan toko kelontong yang menyediakan berbagai bahan makanan Asia biasanya dikelola orang-orang Vietnam. Australia memang menjadi multikultur dalam beberapa dekade terakhir, dengan populasi masyarakat India maupun China yang signifikan. Beberapa diatara mereka bahkan masuk dalam jajaran kabinet pemerintahan seperti minister for finance and deregulation, Penny Wong, saat ini.

Masalah etnis di negeri multiethnic ini adalah krusial. Masyarakat berlatar belakang India, Pasifik, Libanon, Asia dan Eropa lainnya harus dikelola untuk menghindari konflik sosial. Ditengah gejolak ekonomi dunia yang tidak selalu bagus, sebagai eksportir layanan pendidikan, Australia banyak belajar dari gesekan-gesekan sosial yang terjadi. Jujur secara pribadi saya dan keluarga tidak pernah mengalami permasalahan terkait etnis dan kepercayaan di kota kecil pusat pemerintahan dan diplomatik Canberra yang kosmopolitan. Namun, di kota seperti Sydney pernah terjadi kerusuhan rasial melibatkan pelajar India yang memberi efek pada penurunan jumlah mahasiswa dari India untuk belajar di negeri Koala.

Australia dengan standar hidup tinggi mengundang banyak pendatang, dari yang legal sampai illegal. Para pengungsi perahu dari negeri-negeri yang didera konflik seperti Afganistan dan Iraq menjadi isu politik besar di Australia yang menyebabkan banyak menteri bahkan perdana menteri menjadi bulan-bulanan di parlemen. Sedangkan untuk urusan bangsa Aborigin, menjadi tugas ministry for Families, Housing, Community Services and Indigenous Affairs membereskannya.

Tentu tidak hanya hal-hal bagus yang ada di negeri maju berpenduduk sekitar 22 juta orang ini, misalnya masalah alkoholisme serta liberaisme individu yang tidak layak untuk ukuran budaya timur kita. Setiap negeri tentu punya permasalahan dan solusinya sendiri. Namun bagaimanapun, banyak yang bisa kita ambil sebagai pelajaran berharga dari kehidupan sehari-hari negeri yang bernama Australia. Wallohu a’lam bissawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar