Rabu, 29 Desember 2010

Makanan Indo di Oz

Apa respon orang lapar saat menemukan makanan favorit, misalnya sambal teri yang pedas atau manis gurih pada jarak ribuan kilometer dari pembuatnya? Apalagi sambal teri tersebut sudah terhidang diatas piring dengan nasi hangat yang pulen, diperlengkapi dengan kerupuk udang. Ada kalanya dengan aroma jengkol kesukaan atau terasi yang sedap atau tahu tempe yang sangat langka. Jawabannya pasti siapapun akan melahapnya dengan senang hati.

Begini, jika setingannya dirubah agar semakin jelas. Anda berada di kota kecil di Australia, setiap hari makanan yang tersedia adalah khas Eropa, atau dari sudut dunia lain. Terus ada toko kecil menjual produk makanan Indonesia dengan harga yang terjangkau untuk ukuran Dollar meski tak murah untuk ukuran Indonesia. Juga terdapat label halal. Tentu yang anda lakukan adalah membelinya dengan gembira. Percaya nggak, hal terkait makanan ini yang mendorong perdagangan produk Indonesia di Australia.


Bermula dari kebutuhan alamiah “lapar”, mengalir banyak produk makanan Indonesia di toko-toko Asia dan supermarket di Australia ini. Bukan produk teve, lemari es atau sepeda motor made in Indonesia yang saya temui disini, tetapi sambal terasi, bumbu gado-gado, kerupuk udang Sidoarjo, sambal pecel Blitar, abon sapi, serta berbagai bumbu instant. Beberapa produk Indonesia lainnya di beberapa toko Asia meliputi kecap (soy souce), bakso, onde-onde, tahu, dan tempeh “merah putih”. Untuk diketahui, produk-produk Thailand, Malaysia, China, India sudah lama merajai pasar bahan makanan Asia di Australia. Sedangkan produk Indonesia paling mudah ditemukan di Oz adalah Indomie.

Jumlah masyarakat Indonesia di Australia yang lumayan banyak menjadi pasar tersendiri bagi produk makanan Indonesia. Distribusinya diantaranya melalui jaringan komunitas Indonesia, seperti misalnya K*****a Sembako, sebuah toko kelontong kecil yang menawarkan produk-produk makanan Indonesia. “Koperasi” milik para “ekspatriat” Indonesia ini tersebar melalui jaringan facebook dan mempunyai fasilitas antar ke rumah jika pesan banyak, atau kenal sama pengurusnya.  Sedangkan toko bahan makanan halal/Asia yang lebih besar pernah saya temui di Lakemba, sebuah suburb di Sydney. Kota-kota besar semacam Sydney atau Melbourne yang banyak komunitas Indonesia memang jalur perdagangan bahan makanan asal Indonesia ini.

Di Australia biaya tenaga kerja mahal, sehingga makan di restoran juga tidaklah murah biayanya. Makanya kebanyakan student Indonesia memilih masak sendiri di flat atau unit-nya masing-masing. Produk bahan makanan Indonesia menjadi favorit mereka untuk mengobati kangen tanah air sekaligus menghemat biaya. Orang-orang yang bisa menangkap peluang usaha di bidang makanan Indonesia ini adalah mereka yang cerdas sekaligus berjasa ikut memasarkan produk dan budaya Indonesia.

Setiap orang Indonesia yang bepergian ke suatu kota besar di Australia, maka restoran makanan Indonesia adalah tempat tujuan favorit mereka. Kata teman, banyak restoran Padang di Sydney dan Melbourne. Saya sendiri menemukan dua restoran Indonesia saat berlibur ke Melbourne, yaitu Nelayan: Indonesian cuisine dan frenchise Es teller 77 di bilangan Swanston Street yang cukup strategis. (sebut merek ikut promosi lho) Menu yang ditawarkan mulai nasi dan mie goreng, nasi uduk, pecel lele, ayam bakar, bakso, rendang, kue klepon, donat, the botol, es campur, dll.

Saya agak heran mengapa hanya sedikit orang Indonesia membuka restoran di Australia, padahal pasarnya ada. Mungkin karena makanan Indonesia agak rumit cara memasaknya, tidak seperti Kebab Turki atau Pizza Italia yang telah lama mendunia. Lalu bagaimana dengan fenomena banyaknya restoran Thailand, Burma, Malaysia, Vietnam, Jepang, China. Mungkin jawaban yang lebih pas, orang Indonesia tak terlalu pandai berdagang. Padahal terbukti, kedua restoran Indonesia tersebut sangat laris didatangi banyak konsumen. Jadi pasar bukanlah kendala. Selain orang-orang Australia umumnya, restoran Indonesia juga punya pelanggan loyal para orang-orang “Indo” di Oz.

Memang, kalau sudah menyangkut makanan orang Indonesia pasti kangen dengan selera asal. Tak peduli apa profesinya, gajinya, asal daerahnya, makanan Nusantara mempersatukan kami semua. Saat di jalanan mungkin kita tidak bisa mengenali seseorang dari tampilannya, apakah Melayu Malaysia, Tionghoa dari Thailand atau dari Indonesia, namun saat di dalam restoran Indonesia akan keliatan dari mana ia berasal. Dari celotehan mereka akhirnya bisa ditebak dari sudut Indonesia mana mereka pernah tinggal. Hal yang lebih jelas lagi, acara-acara di KBRI yang menghidangkan masakan Indonesia “pasti” diserbu banyak orang Indonesia seperti acara tujuh belasan.

Makanan memang bisa menjadi penanda budaya seseorang. Rasa makanan mak nyuss yang sering dinikmati sejak kanak-kanak, akan membentuk selera dan mengantarkan orang pada identifikasi budaya. Ketika banyak orang belum merasa makan kalau belum makan nasi, maka makanan lainnya hanyalah serasa kudapan belaka. Makanan Nusantara, adalah salah satu produk hybrid bangunan budaya yang bernama Indonesia. Orang boleh bertolak belakang pandangan politik, memiliki strata sosial yang berbeda, atau berbeda keyakinan, namun bisa bertemu dalam kegemaran makanan yang sama.

Namun budaya makanan masyarakat bisa berubah. Saya pernah bertemu seorang Inggris sedang menanak nasi di Asrama mahasiswa Toad Hall. Ketika saya tanya mengapa dia makan nasi, justeru dia merasa aneh dengan pertanyaan saya karena di Inggris hal biasa saja orang Bule makan nasi, karena banyak toko Asia di UK sana. Australia yang menjadi multikultur juga merubah kebiasaan makan warganya. Juga kesimpulan lainnya, kalau selera Nusantara masih kuat maka budaya kita juga masih eksis.

Seharusnya makanan Indonesia bisa mendunia. Sudah saatnya para frenchisor Indonesia datang ke Australia untuk menjaring konsumen potensial sekaligus dollar. Jangan silau oleh kesan “Barat”, Australia. Rekan-rekan restoran Asia sudah pada datang ke Australia. Buat Cak Man bakso Kota, Pak Puspo Wardoyo Wong Solo, atau lainnya, ditunggu kehadirannya di Australia. Wallohu a’lam bissawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar