Sabtu, 08 Januari 2011

“Duit Ostrali”

Di penghujung sampai pergantian tahun (November-Januari) kemarin nilai tukar Dollar Australia (AUD) terhadap Rupiah (IDR) menguat sangat signifikan. Dari yang biasanya berkisar Rp8.000,00 per dollar, pada periode tersebut mencapai sekitar Rp9.000,00 per dollar. Bahkan AUD mencatat sejarah untuk pertama kalinya melampaui nilai Dollar Amerika Serikat (USD). Kondisi tersebut tentu saja berkah bagi para pekerja “mahasiswa” yang mentransfer dollar hasil peras keringat selama di Ostrali ke Tanah Air, yang biasanya melalui kanggaru.net milik seorang Indonesia di Australia.

Otot-otot perekonomian Australia semakin perkasa sejak meningkatnya permintaan atas produk-produk Australia di pasar dunia. Negeri seperti China dan India yang haus bahan baku dan sumber energi untuk geliat industri mereka melakukan import besar-besaran atas produk-produk Australia. Lonjakan permintaan terhadap batu bara, bahan-bahan tambang serta produk pertanian dan peternakan (life stock) otomatis meningkatkan pula kebutuhan dunia akan mata uang bergambar ratu Inggris tersebut.


Saya pernah mengunjungi Royal Australian Mint di bilangan Denison Street, Canberra. Pabrik uang koin Australia ini menghasilkan enam jenis koin pecahan 5, 10, 20, dan 50 cent, serta 1 dan 2 dollar. Koin pecahan cent berwarna keperakan, sedangkan koin pecahan dollar berwarna keemasan. Kalau ukuran koin cent berbanding lurus terhadap nilai nominalnya, sebaliknya koin 2 dollar lebih kecil ukurannya dari koin 1 dollar. Ukuran masing-masing jenis koin adalah standar, mengingat koin digunakan di banyak mesin pembayar (ATM) dari urusan parkir, bayar tiket bus, sampai telepon umum. Sedangkan untuk uang kertas (bank notes) terdapat pecahan 5 dollar, 10 dollar, 20 dollar, 50 dollar dan 100 dollar yang semuanya dicetak di pabrik duit di Melbourne.

Di Royal Australian Mint, pengunjung bisa melihat koin Australia dari tahun-ketahun. Saya jadi tahu bahwa gambar di uang koin Australia dibalik gambar Ratu Inggris adalah beraneka ragam. Setiap tahun Australia mengeluarkan edisi koinnya, bergantung moment dan tema yang sedang dipilih. Untuk jenis koin yang sama, ada edisi olimpiade, edisi ilmu pengetahuan, edisi kepahlawanan, edisi flora dan fauna, edisi luar angkasa, dll. Terdapat pula koin edisi khusus yang diperjual belikan sebagai cendera mata yang dibuat dari emas dan perak.

Melalui lorong dinding kaca tembus pandang di lantai atas, kita bisa melihat proses pembuatan uang koin, mulai dari desain, pencetakan, pemolesan sampai pendistribusiannya. Jika kita datang saat jam kerja, kita bisa melihat para pekerja mengoperasikan alat-alat otomatis yang beberapa diantaranya seperti lengan robot. Dari tempat tersebut kita juga bisa melihat tumpukan koin setengah jadi, yang sekilas seperti gudang koin Paman Gober dalam cerita Donald bebek. Di pabrik duit ini kita juga bisa mencoba membuat uang sendiri, dengan memasukkan koin dua dollar kedalam mesin khusus, dan kita bisa melihat prosesnya sampai keluar uang sedollar serta bungkusnya sebagai souvenir.

Dari pabrik koin ini didistribusikan cent dan dollar untuk mengisi kebutuhan bank, mall, pasar, serta dompet orang-orang di seantero Australia. Dengan duit dollar sebagai alat tukar tersebut roda perekonomian Australia berputar dalam siklus usaha yang naik dan turun, tergantung iklim ekonomi dalam negeri serta global. Perdagangan dengan negara-negara lain di kawasan maupun di ujung dunia pun berjalan.

Jika dilihat di berbagai mall dan market bisa dikata produk-produk murah China telah merasuk begitu dalam pada struktur perekonomian Australia. Barang mulai dari mug, t-shirt, sepatu, tas, ATK, handphone, souvenir, makanan bahkan mungkin bendera Australia adalah made in China, yang dipasarkan melalui toko-toko seperti Top Bargain, Hot Dollar atau Price Attack. Banyak pula produk mainan anak-anak didesain di Australia, namun dibuat di daratan China. Di Padys Market di Sydney atau Victoria Market di Melbourne, produk pakaian dan souvenir khas Australia dengan label made in China yang gampang dirobek sangat mudah ditemukan.

Tak pelak, upaya Australia membendung perkembangan ini dengan melabeli produk-produknya “Australian made” berlambang kanguru menghadapi tantangan yang sangat berat. Juga, pada boxing day saat toko melakukan obral besar-besaran beberapa waktu lalu, produk China yang memang murah saya lihat tidak termasuk yang dipotong harganya. Efek samping lainnya, kebanyakan barang yang dijual di garage sale atau Sunday market juga adalah produk-produk berkualitas rendah dari Negeri Tirai Bambu ini.

Akhirnya, gejolak fluktuasi kurs mata uang antar negara merembet pada isu-isu perdagangan bebas, daya saing produk antar negara dan juga perbedaan purchasing power parity. Pedang uang China begitu tajamnya sampai membuat keteteran negeri adidaya Amerika Serikat. Sementara China berusaha mendevaluasi “Renmimbi” atas mata uang dunia untuk menjaga daya saing produknya agar tetap kuat, negara seperti Amerika Serikat berusaha menekan negeri Tirai Bambu tersebut untuk menaikkan nilai mata uangnya. Kondisi yang mengarah pada “perang mata uang” menjadi pokok bahasan yang menarik di universitas-universitas, termasuk kampus saya ANU College of Asia and the Pacific dimana mata kuliah seperti China and the World menjadi tren baru. Australia mengamati dengan seksama geliat China, misalnya dengan membentuk pusat-pusat kajian yang diantara produknya adalah jurnal-jurnal ilmiah yang berpengaruh.

Bukan hanya mengundang produk-produk China, perekonomian Australia yang prospektif juga menyerap banyak tenaga kerja termasuk diantara para student. Karena membutuhkan banyak tenaga kerja, khususnya untuk “pekerjaan casual” seperti cleaner, house keeper, loper koran, kasir toko, pemetik buah atau jamur yang kebanyakan orang sini kurang tertarik, pemerintah Australia mengijinkan para mahasiswa bekerja part time 20 jam per minggu dan full time bagi spouse mereka.

Demi duit Ostrali inilah banyak diantara mahasiswa kita bekerja. Jadi jangan heran kalau yang membersihkan gedung atau yang menjadi security atau cashier di mall adalah para kandidat doktor atau master di berbagai bidang keilmuan. Saya pernah bertemu seorang mahasiswa S-3 RMIT bekerja sebagai asisten toko di Victoria Market, Melbourne yang tugasnya membuka dan menutup toko. Dengan rate salary tinggi yang berbeda antar negara bagian, mereka berlomba mengumpulkan bugs demi bugs sebagai tabungan. Dari sinilah istilah “full time work, part time study” bermula. Kalau setelah pulang ke Tanah Air mereka bisa membeli rumah, mobil atau biaya menikah itu bukan karena korupsi, tetapi dari hasil membanting tulang.

Australia juga masih membutuhkan banyak tenaga kerja terampil, khususnya di bidang kesehatan. Karena kekurangan dokter dan perawat, kalau “sakit ringan” perlu beberapa hari appointment sebelum kita ditangani oleh dokter. Dengan pelatihan dan bahasa ingris yang bagus, terbuka peluang bagi TKI kita untuk bekerja di bidang kesehatan ini, selain juga perhotelan atau kerja kasar lainnya. Gaji tinggi dengan perlindungan tenaga kerja yang lumayan bagus, berpotensi menciptakan para “pahlawan devisa”.

Uang memang bisa membeli banyak hal, tapi bukan segalanya. Kalau di Indonesia duit gambar Gayus sangat digemari anak-anak, paralel dengan rupiah yang bisa digunakan untuk membeli suara pemilih dan bahkan keadilan seperti kasus joki penjara atau plesiran Gayus ke Bali, sebaliknya di negara maju seperti Australia pasca krisis banyak mantan eksekutif swasta bergaji tinggi rela bekerja di lembaga sosial dengan bayaran murah atau bahkan tidak digaji. Tentu yang begini yang mereka cari adalah kepuasan non material, bukan duit Ostrali. Wallohu a’lam bissawab.

1 komentar:

  1. alo salam kenal mas..saya berencana utk ambil master design di swinburne,semoga aplikasi saya diterima bulan ini, sehingga saya bisa nyusul para lasykar beasiswa yang sudah merasakan duit ostrali..hehe...berkaitan dengan hal tersebut,apakah ada jenis pekerjaan untuk desainer produk(drafter)?atau freelance marketing untuk produk mebel dan kerajinan dari Jepara,karena saya mengemban misi kelembagaan untuk meng-asses pasar ostrali....oh iya nama lembaga kami APKJ(Association of Jepara small scale furniture producer..thank b4

    BalasHapus