Minggu, 23 Januari 2011

Patriotisme Australia: Pandangan seorang Indonesia

Setiap 25 April Australia menggelar ANZAC parade di depan War Memorial, lima menit jalan kaki dari unit (rumah) saya di bilangan Campbell, Canberra. Pada hari tersebut, Perdana Menteri Australia beserta segenap veteran dari berbagai angkatan dan generasi berkhidmad untuk sebuah peristiwa besar. ANZAC day adalah peringatan kekalahan Australia terhadap Turki di tahun 1915 pada pertempuran di teluk Gallipolli dengan korban sebanyak 8.709 pasukan. Australia yang bertempur bersama Inggris, Perancis dan British India untuk menghancurkan Turki Ottoman (sekutu Jerman) tergabung dalam ANZAC (Australian and New Zealand Army Corps). Meskipun menderita kekalahan, peristiwa tersebut diperingati sebagai hari kepahlawanan yang turut membentuk entitas bangsa muda bernama Australia.


Di War Memorial dengan api abadi di pelatarannya, ditulis nama-nama pasukan Australia yang tewas di berbagai pertempuran, termasuk daftar korban dalam konfrontasi di Kalimantan Utara. Catatan tentang para korban perang Australia juga saya saksikan di Shrine of Remembrance, Melbourne dengan bangunan menyerupai candi dengan tulisan “Greater Love Hath No Man” di dalamnya yang akan tersinari cahaya Matahari dari puncak the shrine pada jam 11 tanggal 11 bulan 11 (saat Jerman menyetujui gencatan senjata pada sekutu). Jika di dalam War Memorial dipajang berbagai peralatan perang dan memorabilia di berbagai konflik dalam penataan yang excellent, di the shrine dipamerkan panji-panji bendera pasukan serta berbagai bintang jasa para pahlawan Australia.

Penghargaan terhadap tentara yang pernah berjuang dan bertugas demi negara sangat tinggi di Australia. Mereka yang sudah tua tetap dihormati dan ditempatkan di tempat terhormat. Para remaja berpakian ala tentara juga terlihat mengikuti parade pasukan dan turut dalam peserta upacara. Setelah pidato Perdana Menteri Kevin Rudd kemudian disusul dengan devile pasukan dan diakhiri dengan lintasan pesawat jet tempur (FA-18) yang menggelegar.

Australia menghargai jasa warganya yang telah rela bertaruh nyawa demi negaranya dengan mencukupi kesejahteraannya yang diurus oleh Department of Veterans’ Affairs. Meski kebijakan mengirimkan tentara ke berbagai daerah konflik sejak perang Vietnam bisa diperdebatkan dan bahkan mendapat oposisi di dalam negara Australia sendiri, cara pemerintah Australia memperlakukan veterannya patut diapresiasi. Dalam sebuah parade ANZAC day, bukan hanya para veteran dari orang Australia yang turut serta, namun juga diantaranya veteran dari bangsa Vietnam dan Korea. Tak lupa mereka didudukkan di panggung kehormatan. Terlihat jelas dari ekspresinya mereka merasa sangat dihargai di Australia, meski di negeri asal mereka boleh jadi sebaliknya.

Pada tur kedalam bangunan War Memorial saya juga melihat orang-orang Turki turut hadir di acara ANZAC day tersebut. Entah apa yang mereka rasakan pada hari itu. Memang, untuk mengenang peristiwa besar tersebut didirikan masing-masing Kemal Attarturk Memorial di Canberra dan ANZAC cove di teluk Gallipoli Turki.

Pada PD II, Australia masih menjadi anggota dari aliansi negara-negara sekutu. Hal ini “wajar” mengingat Australia adalah bangsa “Eropa” di kawasan Asia. Doktrin Australia sebagai power holder di Pasifik “mengharuskan” Australia berperang menghadapi serbuan kekuatan imperialis Jepang saat itu. “Our first naval victory” dalam peperangan laut melawan Jepang turut menaikkan kepercayaan diri Australia, yang diabadikan dalam bentuk koleksi kapal perang, film, dan multimedia rekonstruksi pertempuran laut yang menarik di dalam War Memorial tersebut. Yang ingin di-framing serta ditransfer dalam museum perang tersebut adalah “mental juara” para pendahulu.


Dalam sebuah diskusi dengan dosen di kampus, terungkap bahwa Australia tidak akan lepas dari orbit Amerika Serikat, karena posisi geopolitiknya yang sudah given. Ketakutan Australia akan “bahaya kuning dari utara” masih ada, sehingga banyak kebijakan perang dan damai Australia harus mengikuti para aliansinya tersebut. Boleh dikata kebijakan untuk berperang di Korea, Vietnam, Iraq dan Afghanistan saat ini bukan semata sebagai ekspresi ungkapan “right or wrong is my country”, namun juga terkait erat dengan kepentingan Australia di kawasan.

Kini Australia telah menjelma menjadi negara multikultur dengan lebih dari 8,7 persen penduduknya berlatar belakang Asia (sensus 2006). Beberapa Perdana Menteri Australia seperti Paul Keating dan Kevin Rudd juga menginginkan Australia lebih dekat dengan Asia. Meski belum berhasil, upaya Australia menjadi Republik yang terlepas dari Monarkhi Inggris telah menjadi isu politik penting. Australia terus berproses menjadi sebuah negara sejak pendaratan Kapten Phillip Arthur pada 26 Januari 1788 yang diperingati sebagai Australia day.


Pada acara ANZAC day tersebut, kami bertemu dengan seorang mantan pasukan khusus Australia yang sudah sepuh dengan pakaian lengkap dan bintang-bintang jasa di dada. Saat kami memperkenalkan diri berasal dari Indonesia, beliau langsung menyebut “RPKAD” (Kopassus) dengan rasa takzim, seolah mengingat kembali pengalamannya bertempur menghadapi kehandalan pasukan khusus kita waktu itu di belantara Kalimantan Utara. Beliau tak keberatan saat kami meminta untuk berfoto bersama.

Di Australia tentara bukan diklasifikasikan sebagai lapangan kerja, namun dianggap sebagai sebuah pengabdian kepada negara. Canberra sebagai ibukota negara tempat kantor-kantor pemerintah federal berada, termasuk tempat markas besar Australian Defence Force (ADF) yang setiap pagi saya lewati saat menuju tempat kerja cleaner di daerah Manuka. Tidak ada kesan sangar gedung yang merupakan “Pentagon”-nya Australia ini. Di Canberra juga terdapat Australian Defence Force Academy (ADFA) dimana banyak perwira TNI belajar disana, selain di tempat lain semacam University of Wollongong atau di ANU.

Sepertinya bangsa kita bisa mengambil pelajaran dari cara bangsa Australia menghargai orang-orang yang telah berjasa kepada negara. Karena saat ini negara kita seolah telah melupakan para pejuangnya, khususnya yang telah merebut kemerdekaan atau yang pernah bertugas dalam pembebasan Papua atau Timor-Timur yang merupakan keputusan politik saat itu. Selain pendek ingatannya dalam menghargai pahlawan, orang Indonesia juga lembek dalam menghukum para pengkhianat, seperti para mafia pajak yang menghebohkan saat ini. Di Indonesia batas antara pahlawan dan pengkhianat sangat tipis.

Perilaku para pejabat kita yang suka korupsi seakan menganggap negara kita adalah warisan engkong-nya. Bagaimana semangat kepahlawanan bisa tertransfer ke generasi yang lebih muda, kalau kesadaran bahwa keberadaan kita hari ini adalah hasil perjuangan para pendahulu dengan pengorbanan darah dan air mata sudah kikis. Lalu kapan kita bisa menjadi bangsa yang besar yang mampu mencapai prestasi-prestasi membanggakan dan dihormati negara-negara lain. Di Australia saya bisa merenungkan ucapan Bung Karno: “bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai jasa para pahlawannya”. Wallohu a’lam bissawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar