Kamis, 13 Januari 2011

Merasakan Kuliah di Australia

Sungguh bukan perkara mudah bagi saya untuk memperoleh beasiswa Australian Development Scholarship. Saat S-1 dulu saya mati-matian mencari IPK diatas 3 agar bisa melamar beasiswa luar negeri, dan setelah dapat masih harus lima kali apply sebelum akhirnya dipanggil. Saat wawancara saya ungkapkan alasan kenapa saya layak dapat chance untuk merasakan bangku kuliah di Australia karena ilmu yang saya cari terkait erat dengan pekerjaan saya di Indonesia, serta tentu saja saya ceritakan perjuangan panjang saya. 

Mungkin yang menjadi salah satu pertimbangan yang memberatkan keputusan panitia seleksi meloloskan saya adalah saya pernah menulis buku yang telah dikoleksi oleh Perpustakaan Nasional Australia (NLA). Buku berjudul Good e-Government tersebut pada akhirnya bisa saya temukan saat berada di Canberra tempat NLA. Hal lain yang menentukan menurut saya adalah doa orang tua dan banyak lainnya yang ingin saya bisa mewujudkan mimpi saya waktu kecil untuk bisa mengunjungi Australia.

Jika Andrea Hirata dalam sekuel Laskar Pelangi punya Bu Muslimah, maka salah satu inspirator yang mendorong saya terus berjuang agar bisa kuliah di luar negeri adalah dosen waktu S-1 yang tak keberatan membuatkan surat referensi bagi saya. Beliau Doktor lulusan Wollongong University Australia dengan thesis dan desertasi tentang Akuntansi syariah. Kuliah di negeri “Barat” tapi thesisnya tentang Akuntansi syariah? Itulah yang terjadi. Saat Bank Syariah di negara kita belum berkembang seperti sekarang, Doktor Iwan Triyuwono telah mempelajari dan meletakkan epistemology pemikiran tentang Akuntansi yang digali dari khasanah Islam sebagai wacana alternatif saat itu.

Yang menarik dari studi di luar negeri yang saya rasakan adalah sistemnya yang sangat mendukung dan lingkungan akademiknya yang memungkinkan kita berkembang secara intelektual. Saya beruntung mendapatkan bangku kuliah di ANU, universitas peringkat 17 besar dunia (2009) dan nomor satu di Australia serta bumi bagian selatan yang sekarang dipimpin mantan Menlu, Gareth Evans. Dosen saya adalah orang-orang ekspert dan terkenal di bidangnya, yang selama ini saya kenal melalui buku-buku karya mereka.

Lebih dari itu, universitas elite anggota “group of eight” di Australia ini telah mempertemukan saya dengan orang-orang dengan talenta dan bakat akademis yang tinggi dari seluruh dunia untuk saling bertukar pengalaman. Disini juga terdapat banyak pusat kajian yang menghasilkan jurnal-jurnal ilmiah berpengaruh sebagai rujukan para pengambil kebijakan di seluruh dunia. Satu diantaranya adalah jurnal East Asia Forum, sebuah jurnal yang menyorot dinamika sosial, ekonomi dan politik negara-negara kawasan Asia Timur yang melesat saat ini. Berbeda dengan dunia kerja, di dunia ilmiah kita bisa mengembangkan insting akademis kita.

Mungkin yang membuat pendidikan di dunia Barat maju adalah kebebasan akademik serta tradisi ilmiahnya yang hidup. Ketika banyak universitas melarang akses terhadap informasi sensitif Wikileaks, ANU (almamater Julian Assange) termasuk universitas yang membolehkannya. Beberapa kali saya juga berkesempatan mengikuti event orasi ilmiah yang menghadirkan tokoh-tokoh besar dunia di berbagai bidang, seperti Jozeph Stiglitz pemenang nobel ekonomi atau Kevin Rudd, Perdana Menteri Australia ahli masalah China atau Anwar Ibrahim untuk isu Malaysia terkini. Di Indonesia Study Group, beberapa kali saya menghadiri diskusi dengan para pelaku dinamika penentu kebijakan, seperti Jusuf Kalla tentang pengalamannya sebagai Wapres serta Chatib Basri, alumni Crawford School ANU yang membahas kasus Bank Century dari kronologis beserta segala dampak politisnya.

Kelebihan lainnya dari universitas di Australia adalah perpustakaan sebagai jantung pendidikan. Koleksi buku, jurnal, dan aneka terbitan sebagai urat nadi bagi tersalurnya ilmu pengetahuan di perpustakaan disini sangatlah lengkap. Banyak buku maupun terbitan tentang Indonesia dalam berbagai bahasa yang bahkan di Indonesia pun kita kesulitan mendapatkannya. Juga, jika di perpustakaan disini tidak tersedia, kita masih bisa meminjam dari perpustakaan lainnya di universitas lain yang akan dikirimkan melalui pos. Kita juga bisa menyarankan perpustakaan untuk membeli buku tertentu, dengan batas peminjaman selama enam bulan, kecuali jika sedang di-call oleh peminjam lainnya.

Kita bisa mencari daftar koleksi buku atau jurnal-jurnal di perpustakaan dengan cara search di website kampus. Perpustakaan juga berlangganan aneka jurnal elektronik internasional yang bebas kita akses. Di Australia seluruh informasi terkait perkuliahan telah terkomputerisasi secara integral, seperti urusan rencana studi, jadwal kuliah, administrasi, nilai ujian, email akademik, silabus, undangan event-event ilmiah, bantuan akademik, biaya, perpustakaan, serta akun print dan foto copy kita. Kita juga bisa mendengarkan ulang rekaman kuliah, karena seluruh perkuliahan di kelas kita didigitalkan yang didukung oleh pengaturan tata suara, pencahayaan dan udara yang excelent. Bahkan di beberapa kampus kita bisa belajar secara online tanpa harus hadir di kelas.

Kita bisa memilih mata kuliah yang sesuai dengan spesialisasi dan kebutuhan kita. Kita juga dimungkinkan memilih beberapa mata kuliah lintas jurusan. Sistem Commonwealth Register of Institutions and Courses for Overseas Students (CRICOS) memungkinkan kita melakukan pemilihan mata kuliah yang ditawarkan seluruh jurusan dan universitas di Australia, beserta deskripsi, tujuan pengajaran serta penilaiannya. Sistem penilaian di universitas Australia sangatlah transparan, dengan kriteria yang telah diberitahukan sejak awal di silabus, misalnya berapa persen nilai essay, berapa persen nilai presentasi, atau berapa ribu kata harus kita tulis.


Plagiarisme sangat diharamkan di dunia pendidikan Australia. Segala quotation, citation dan pengambilan ide orang lain harus melalui referencing yang caranya telah diatur termasuk styleguide-nya. Pelanggaran atas plagiarism ini mendapatkan sanksi yang berat, sampai diberhentikan dari universitas dan dipulangkan ke negara asal. Disini berlaku adagium, “lebih baik dapat nilai jelek daripada mencuri hasil karya orang lain”. Untuk menyaringnya, tulisan yang kita buat harus lolos melalui turnitin untuk mengecek orisinilitasnya.

Bagi yang ingin berhasil, kita bisa memanfaatkan academic skill adviser yang akan membantu kita dari urusan ide, ekspektasi dosen, sampai soal bahasa. Selain itu para penasehat akademik, manager program, dan tenaga administrasi sangat membantu kita menjalani perkuliahan yang mengikuti musim, yaitu summer, winter, spring, dan autumn session. Untuk yang telah lulus biasanya terdapat jaringan alumni yang siap membantu, salah satunya adalah Crawford Connection.

Para mahasiswa Indonesia di Australia juga memiliki wadah bernama Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Australia (PPIA). Banyak kegiatan yang dilaksanakan diantaranya adalah penjemputan, orientasi dan mencarikan akomodasi bagi mahasiswa baru, pelepasan mahasiswa yang lulus, penulisan buku contribution matter berisi ide-ide cemerlang para anggota, pembuatan film pendek inspiratif tentang mahasiswa Indonesia di Australia yang diunggah di Youtube oleh PPIA-Victoria, dan juga membantu para mahasiswa kita korban banjir bandang di Queensland saat ini.

Universitas Australia banyak memberikan pengalaman berharga bagi orang-orang yang menyelami lingkungan akademiknya, serta memunguti mutiara-mutiara ilmu yang terserak. Tentu banyak orang yang juga menginginkannya dan masih berjuang seperti saya dulu. Serasa mimpi, beberapa waktu lalu saya bertemu dengan Pak Iwan Triyuwono di Canberra, kota tempat saya sedang menempuh studi di Crawford School of Economic and Government ANU, karena beliau adalah salah satu inspirator bagi saya. Wallohu a’lam bissawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar